Sabtu, 23 Agustus 2008

KETIKA PEMINPIN SALING MENGHUJAT


Ekplorasi

Pesta rakyat sebentar lagi aka

Pemilu 2009 sudah didepan mata. Pesta rakyat, dan sekaligus ajang politik yang akan menentukan nasib bangsa kedepan. Oleh sebab itu kita harus benar-benar selektif dalam memilih peminpin di masa depan. Keterpurukan yang melanda bangsa ini salah satunya karena ketidaksanggupan para elit dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Lemahnya penegakan hukum mejadi pemicu terjadinya penyimpangan yang justru banyak merugikan masyarakat. Kita butuh figur pemimpin yang berhati nurani, yang benar-benar memikirkan kepentingan rakyat.

Rakyat sekarang harus lebih dewasa dalam menentukan pilihanya. Jangan tergiur pada oase dan janji-janji semu. Dan harapan kita dalam pesta demokrasi nanti adalah terciptanya kondisi politik yang harmonis, dan membangun. Keterpurukan pemerintahan dimasa lalu hendaknya dijadikan pelajaran. Kegagalan-kegalan diberbagai komponen mestinya dicarikan solusi, bukan justru digembar gembor sehigga terkesan “sok paling benar”.

Akan tetapi di tahun 2007 kita dikejutkan dengan terjadinya dis control dari pemimpin (elit politik) kita yang saling serang. Sehingga mereka cenderung membenarkan diri sendiri. Mereka menganggab pemerintahan sekarang gagal, terlepas dari benar tidaknya ungkapan itu, akan tetapi kalau kita amati seakan terkesan naif. Kenapa mereka terkontaminasi pada persoalan, bukan mencari solusi malah mengkambinghitamkan orang lain.

Opini pun bermunculan mulai dari kalangan elit sampai masyarakat menengah kebawah. Diskusi bertajuk merefleksikan kebangsaan digelar diberbagai tempat. Banyak yang mengomentari “karna ketidak siapan para elit dan pemerintah dalam mengupayakan keadilan”. Kegagalan penegak hukum pun menjadi sorotan, lagi-lagi dilarikan pada aparatur. Dan aparatur sendiri melemparkan karena ketidak siapan konstitusi dan pemerintah untuk berbuat tegas. Mereka saling menyalahkan dalam lingkaran hitam.

Mereka pun “para politisi” berorasi saatnya kita mengadakan perubahan. Perkataan itu mungkin kerap kita dengar dari para elit yang mencalonkan diri menjadi bagian penting dinegri ini. Tapi kita pun seakan bosan mendengar janji-janji itu. Toh dari dulu tetap itu-itu saja mereka yang menggagas peruban. Dan ketika akhir pemerintahannya mereka pun yang mengatakan perkataan serupa. Pemain politik tetap tidak ada perubahan.

Gonjang Ganjing Pemerintahan

Kegagalan pemerintah dalam mereialisasikan janjinya, cermin dari tidak siapnya elemen bangsa dalam merubah kondisi secara total. Kemiskinan tumbuh seiring bangsa ini didera berbagai musibah, mulai banjir sunami sampai pada kerisis pangan, mahalnya kebutuhan pokok dan kerisis kemnusian. Penganguran terus menigkat lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat menampung para pekerja. Kebutuhan hidup terus meningkat biaya hidup semakin tinggi. Penuntasan korupsi dari tingkat atas sampai bawah masih terlihat tebang pilih.

Dibentuknya Konstusi Pengawas Keuangan (KPK) diharapkan menjadi suatu pencerahan agar bisa meminimalisir penyalah gunaan ke uangan negara. Pembentukan KPK pada awalnya merupakan langkah maju yang dicerminkan lembaga ini. Akan tetapi kepercayaan pada lembaga ini menjadi memudar ketika oknom didalamnya yang dulu bernergi untuk melawan koropsi malah sebaliknya menjadi pelaku korupsi.

Kegagalan para aparatur dalam menjalankan amat rakyat seharusnya menjadi cambuk. Bahwa mereka tidak memiliki kapasitas dalam menjalankan amanah. Kegagalan itu terjadi karna mereka masih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kemaslahatan rakyat. Rakyat hanya menjadi sapi perahan. Rakyat hanya menjadi tunggangan mereka dalam mencapai kekuasaan. Akan tetapi setelah mereka berkuasa mereka cendrung mengabaikan kometmen awal “untuk dan demi rakyat”.

Ketika Peminpin saling mencela.

Ketika kita mendengar kata peminpin, yang terlintas di benak kita “peminpin” adalah orang yang memiliki kapabiltas ke ilmuan yang signifikan tentunya sesuai dengan apa yang dia pinpin. Tetapi ketika peminpin itu saling mencungkir balikkan fakta “kelemahan” masing-masing, dan saling mencaci apa yang terjadi ? mungkin hal itu menjadi hal yang biasa di negera yang menganut demokrasi.

Lalu seperti apa kita meletakkan landasan demokrasi, ditengah kerissi kepercayaan pada pemerintah. Apakah dengan meluapkan kebencian, mengumpat mereka, lalu apa yang kita peroleh dari umpatan itu. Mungkin kita masih perlu berkaca pada politik amirika, dari Barack Obama (baca politik Obama).

Pemilu 2009 merupakan penentu nasib bangsa ke depan. Harapan kita sebagai masyarakat kecil amat sederhana, kesiapan para calon untuk melalukan perubahan, bukan hanya sekedar janji-janji. Penegakan hukum untuk tidak tebang pilih. Setabilitas ekonomi yang baik, tentu masih banyak harapan yang lain tidak perlu dipaparkan.

Para kandidat pun melakukan orasi (kampanye) untuk memperoleh prioritas poloitiknya, tidak dapat dielakkan lagi. Bahkan umpat mengumpat menjadi sebuah tradisi dalam meraih prestise. Akan tetapi hal ini akan menjadi berbeda ketikan umpat-mengumpat ini muncul dari mereka yang sama-sama pernah menjalankan roda penerintahan. Mantan Presiden Menga Wati, melontarkan penilaiannya kepada pemerintahan yang sedang berjalan. Menurut Mega “pemerintahan sekarang seperti poco-poco”. Maju selangkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah mundur dualangkah. Tak pernah beranjak diri tempatnya. (Kompas 02 Februari 2008)

Kritikan itu mendapat respon dari Wakil Peresiden Yusuf Kalla. “Penari poco-poco kan sehat. Gerakannya paling ritmis dan bersatu. Saya kira tarian poco-poco lebih baik dari pada dansa-densi senbari menjual gas alam murah”. Balasan kritikan dari kalla ditujukan pada kebijakan pemerintah Megawati dalam bidang energi. Megawati pernah dia jakberdansa oleh presiden China Zemin. (Kompas 02 Februari 2008)

Dalam kesempatan ualng tahun NU seperti dilansir Kompas 4 Februai 2008. Presiden Susilo bambang Yudhoyono menegaskan, keadaan nasional dalam 10 tahun terakhir sejak krisis ekonome semakin membaik kondisinya. Presiden minta kepada pengkritik pemerintah melihat segi keamanan, stabilitas politik, penegakan hukum, pemberantasan korups dan kerjasama dengan negara lain sebagai kemajuan. “Kalau kita jujur, obyektif, dan pandai bersyukur, sesungguhnya, dibandingkan keadaan nasional 10 tahun lalu dan tahun-tahun setelahnya, keadaan negara kita semakin membaik”,. (Kompas 4 Februai 2008 )

Entah sampaikanpan persettruan politik itu akan berahir. Mereka lebih suka menyalahkan dan saling mencari pembenara dari pada melihat realitas di lapangan. Rakyat sekarang tidak butuh sesumbar, tapi butuh bukti konkkrit. Gejala saling menyalahkan bukan suatu solusi terbaik bangsa ini. Kalu mereka (Peminpin) benar-benar mengtasnamakan rakyak sebaiknya duduk bersama mencari solusi terbaik. Bukan malah memperkeruh suasana.

Semakin menarik untuk kita cermati pola politik peminpin negri ini. Karna antara yang mengkriktik dan yang dikeritik merupkan pemain (pedalang) dari pemerintah. Perbednnya hanya terletak pada. Mantan dan satu sebagai pengendali kekuasaan. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa Mega Wati berani mengeluarkan kritikan. Apakah dia meresa lebih baik dari orang yang dikritik.

Pada masa pemerintahan sekarang memang terlihat kaku dalam menjalankan periotasnya yakni mensejahterkakan rakyat. Keterputrukan terjadi dimana-mana, kresis pangan kemiskinan dan kualtas SDM yang masih rendah. Pemerintah sendiri gagal menjalankan amanat ungdag-undang di bidang kependidikan, itu dapat kita lihat setiap tahunnya penganggguran terus bertambah, bekal pendidikan tidak menjamin kecerahan masadepan. Kegagalan itu merupakan suatu cermin yang amat disayang karana kita tau pendidikan menrupakan suatu factor yang sangat dan paling dominan dalam menegak supermasi hukum.

Entah apa yang dilontarkan oleh mantan presiden Menga merupakan berbau politik, atau tidak. Tetapi setidaknya hal itu menjadi tantangan tersendiri, bagi pemerintahan SBY-JK. Dan sekalgus PR bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa apa yang di nyatakan oleh Mega itu hanya bersifat politis.








Tidak ada komentar: