Oleh : Mahmudi
“Ibadah yang paling utama dalah membaca Al-Quran” (Al-Hadis)
Hadits pendek itu cukup untuk menjadi reinterpretasi sekaligus sebagai legitimasi ke utamaan dalam mambaca Al-quran. Tetapi di era globasasi sekarang seberapa banyak oarang yang masih peduli pada Al-qurann “apalagi untuk membaca dan mengkajinya”, mereka lebih memilih media mutakhir yang secara gamblang memperlihatkan gejolak sosial dari pada melakukan tela’ah terhadap firman-Nya. Sekarang Al-Quran hanya menjadi hiasan di dinding-dinding kumuh.
Uin sebagai lembaga islam, dalam menjembatani kesenjangan mahasiswanya memberikan sebuah tawaran yang sangat ideal, berupa hataman Al-Quran. Hataman ini biasa dilaksanakan setiap akhir bulan sekali. Hari kamis malam jum’at.
Seperti biasa setiap sebulan sekali seluruh sivitas Uin melaksanakan khotmel Qur’an (hamatan). Biasanya hataman Qur’an dilakukan di SC (Sprot Center). Dan yang ikut dalam hataman ini tidak hanya dari kalangan santri / masiswa dan mahasiswi saja, tetapi juga para dosen.
Rutinitasa yang dilaksanakan setiap akhirbulan, yang biasa di SC dipindah di gedung Rektorat yang baru. Tentusaja suasana lain tidak seperti biasa. Banyak santri yang terlambat datang karna mereka mengira hataman dilaksanakan seperti biasa yaitu di SC. Setelah mereka mengetauhi hataman dilaksanan di SC, mereka pun berbalik menuju SC. Setelah mereka sampai di SC mereka bingung akan masuk dari mana, di dalam sudah penuh santri. Masuk dari pintu timur, dipenuhi oleh putri, kemudian panitia menyuruh untuk masuk dari pintu sebelah barat.
Setelah berputar sekitar lima menit, sampailah mereka di pintu sebelah barat. Akan tetapi mereka sukkan masuk karna di pintu masuk di dalam telah penuh dengan para Kia’i dan dosen. Akhirnya mereka tidak jadi masuk lawat pintu di sebelah barat, para santri hanya termangu berdiri di depan pintu, kemudian para panitia “musrif” mengalihkan, untuk masuk lewat pintu pertama di sebelah timur. Kembali mereka mengelilingi gedung rektorat.
Setelah tiba di pintu masuk sebelah timur para santri tidak langsung masuk. Mereka seperti grogi meliwati para putri. Namun setelah dipaksa oleh “musrif” akhirnya mereka berbondong-bondong masuk. Gedung Rektorat dilihat dari depan nampak penuh dengan para santri puti, sementara di dalam di samping selatan dipenuhi oleh santri pu
Gedung Rektorat yang masih kosong serentak dipenuhi oleh para santri yang membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lantunan suci itu mengema memenuhi setiap sudut penjuru gedung.
Ketidak siapan panitia
Hataman yang dilaksanakan di gedung Rektorat yang baru tidak seperbiasa. Pada saat itu terlihat banyak dosen yang datang. Dan dari sisi pengemasan acara pun berbeda, ada beberapa sambutan seperti Sambutan Rektor Imam Suprayogo dan derektur Mahad. Dari beberapa sambutan yang disampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa “Uin tidak hanya mengema dalam tingkat lokal, nasional namun dikenal oleh Internasional” begitulah apa yang disampaikan oleh Rektor Uin Imam Suprayogo.
Akan tetapi apa yang disampaikan tidak dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa di bagian selatan, karna selain dibagian selatan banyak masiswa banyak yang ngobrol sendiri, sebagian dari nereka memang tidak peduli, bagi mereka yang penting datang “makan”. Lain dengan putri selain putri mudah diatur merekapun dapat mendengarkan dengan baik karna mereka langsung berdekatan dengan pengeras suara.
Memang suasana pada saat itu sangat tidak mendukung. Di dalam gedung terasa panas. Suara gaduh semakin
Mengharap “Nasi” Pahala
Dari sekian mahasiswa “santri” yang hadir tidak semua membaca AL-quran. Kebanyakan diantara mereka hanya sekedar datang untuk “makan nasi” main HP dan ngerumpi dengan teman di sampingnya. Kegiatan hataman yang diadakan setiap sebualan sekali dijadikan kesempatan oleh sebagian mahasiswa untuk mengurangi pengeluaran sakunya.
Satu kali gayuh dua tiga pulau terlampaui. Peribahasa tersebut kiranya sangat mewakili hajat dan hasrat para santri yang ikut Khotmil Quran. Selain mereka mendapat pahala dari apa yang mereka baca mereka juga bisa menghemat saku mereka dengan mendapat makan gratis.
Meski pun mereka yang hadir di tempat itu tidak semuanya mengaji setidaknya mereka telah mematuhi intruksi dari para morobi untuk menghadiri hataman. Bagi mereka mengaji tidak harus dengan melafalkan kalimat Alquran, tapi lebih dari itu. Dan mereka juga dapat pahala meski tidak membaca Alqurn, mendengarkan orang-orang ngaji itu juga kan pahala.
Terlapas santri yang datang “makan” betul-betul khusyuk mengaji dan mendengarkan setiap petuah yang disampaikan atau tidak semua itu harus dikembalikan pada pola sistem dan kesadaran dari individu itu sendiri.
Dibalik Hataman
Tanpa berburuk sangka pada kegiatan “hataman” yang secara rutin dilaksanakan setiap akhirbulan, setidaknya ada beberapa persoalan yang muncul, mengapa harus melakukan hataman. Apakah hal itu mereupakan pergerakan yang muncul atas dasar kesadaran atau malah sebaliknya ada suatu hal yang mereka para pengelola yang tau. Karana kalau kita lihat hataman yang dilakukan bukan tanpa biaya. Lantas pebdanaan itu dari mana ?. bagi para santri hal itu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi ketranparanan mungkin amat sangat dibutuhkan untuk memperjels sebuah fisi dan misi yang diusung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar