Selasa, 02 September 2008

Uin. Tragidi Bulan Juni "demonstrasi"

BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir Teori Social Budaya yang dibimbing oleh Samsul Susilowati, M.Pd. dalam hal ini saya mengambil sub bahasan TRAGEDI BULAN JUNI di UIN MALANG KASUS DEMONSTRASI oleh Gerakan Aksi Mahasiswa (GAM).
GAM adalah sebuah pergerakan mahasiswa yang mengedepaan asas kebersamaan. Dan ada pun pembentukan GAM didasari atas kepentingan mahasiswa dan tujuannya mengkritisi kebijakan birokrasi yang merugikan mahasiswa dan sikap otoriterisme Rektor1.
Seperti yang banyak dilansir oleh media lokal dan nasional, baik itu media cetak atau elektro TV dan Radio, memberitakan bahwa aksi itu terjadi karna adanya beberapa kebijakan yang dinilai merugikan masiswa, seperti penutupan akses jalan di belang kampus Uin, penerapan jam malam, denda Rp. 50.000,00 bagi KTM yang hilang, adanya pungli dll.
Aksi pertama pada tanggal 4 juni. Aksi audensi secara garis besar diterima oleh pembantu Rektor I Prof. Muji raharjo. Dalam aksi ini masiswa (para pendemo) mengejukan surat perjanjian untuk ditanda tangani. Namun pembantu rektor tidak menandatanginya, kemudian aksi semakamin memanas mahasiswa mendesak untuk segera ditandatangai. Kemudian pembantu rektor meninggalkan para peserta demonstrasi. Secara spontan mahasiswa bergerak maju dan terjadilah aksi dorang mendorang dengan petugas satpam yang berujung pada konflik.
Tawur (konflik) terjadi antara mahasiswa, dosen dan para penjabat kampus disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dalam mencermati sebuah permasahan2. Begiju juga kasus yang terjadi di Uin pada tanggal 4 juni 2008 perbedaan sudut pandang dalam menanggapi sebuah kebijakan berujung pada ketodak puasan. Dalam pandangan mahasiswa kebijakan yang diterapkan oleh birokrasi terkesan dipaksakan dan tidak mengarah pada akademis.
Selain itu, tawur (konflik) batin yang mereka lakukan juda dapat disebabkan oleh kehidupan dinamika kampus yang bergerak begitu cepat dan menuntut kesiapan SDM3. Salah satu penyebab yang paling urgen terjadinya konflik adalah tuntutan “birokrat” kampus yang terlalu berlebih dalam setiap penerapan kebijakannya. Sementara sarana dan prasarana (mahasiswa) kurang diperhatikan sehingga antara kebijakan dan penunjang tidak berimbang.
Tindakan mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan kampus patut diapresiasi. Karan apa bila dalam suatu tatanan kelembagaan (kampus) tidak ada control, maka lembaga itu akan semena-mena dalam memberlakukan kebijakannya. Maka dalam hal ini suatu lembaga menjadi keharusan untuk selalu melakukan evaluasi dan koreksi dalam setiap kebijakannya. Mahasiswa dalam kasus 4 juni 2008 merupakan sebuah tolak ukur dan sekaligus koreksi terhadap kebijakan-kebijakan kampus.
Dalam hal ini saya akan mencoba mengkaji (meneliti) Tragedi Bulan Juni Di Uin Malang Kasus Demonstrasi :
Rumusan masalah
Apa yang melatarbelakangi mahasiswa (GAM) melakukan demonstrasi
Sebab-sebab terjadinya bentrok mahasiswa (GAM) dengan petugas.
Bagaimana solusi penyelesai permasalahan di atas.
Tujuan
Ada pun tujuan dari penelitian ini adalah :
Memahami dan mengetahui secara benar apa yang melatarbelakangi mahasiswa (GAM) melakukan demonstrasi.
Mengetahui secara benar sebab-sebab terjadinya bentrok mahasiswa (GAM) dengan petugas.
Dapat memberikan solusi dengan baik dan benar dalam suatu permasalahan
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Mahasiswa (GAM) dan Demonstrasi
Sebelum kita bahas lebih dalam latar belakang terjadinya demonstarsi kita pahami dulu apa itu mahasiswa (GAM) dan demonstrasi. Mahasiswa ialah pelajar perguruan tinggi4. Kalau dipisa kata mahasiswa menjadi maha (besar dan terhormat)5. dan siswa (pelajar pada akademik perguruan tinggi)6. Jadi Mahasiswa ialah seoarang yang terhormat ter-pelajar pada dunia akademik pada perguruan tinggi.
Sedangkan demonstrasi adalah unjuk rasa; tindakan bersama untuk menyatakan protes7. Protes kersas tentang ketidak adilan atau penyelewengan dilakukan dengan banyak orang (desertai poster dan yelyel)8. Jadi demonstrasi adalah suatu gerakan yang dilakukan bersama untuk menyatakan “protes” penolakan terhadap kebijakan.
Latar Belakang Terjadinya Demo
Latar belakang demo tidak bisa lepas dari pembentukan imeg oleh kampus. Philip Kotler dalam Topor menyatakan bahwa Image Is Power. Citra yang positif merupkan aset yang sangat berharga di pasar (market place)9. Pembentukan citra memang langkah awal untuk menarik simpati. Akan tetapi ketika antara pembentukan citra dan realitas berbeda maka akan terjadi kontradiksi. Kasus yang terjadi di Uin merupakan imbas dari pembentukan imej yang menarik. Sementara kasus di dalam kampus tidak seperti apa yang dicitrakan.
Dengan begitu, satu hal yang perlu dipahami sehubungan dengan terbentuknya sebuah citra perusahaan (kampus) adalah adanya presepsi (yang berkembang dalam benak pablik) terhadap realitas (yang muncul dalam media)10.
Dalam setiap kesempatan majalah Gemma kampus diposisikan adalah suatu perguruan tinggi yang sukses. Sementara hal yang berkenaan hak-hak mahasiswa seperti pelayanan yang tidak efektif tidak pernah disuarakan.
Semestinya kampus para penguasa harus siap melayani dan membela kepentingan rakyat11. Maka ketika mahasiswa (rakyat) melakukan penolakan atas kebijakan birokrasi kampus (pemerintah) selayaknya diterima oleh birokrasi tanpa mengenyampingkan kepintingan yang ada. Mahasiswa melakukan gerakan penolakan terhadap kebijakan karna kebijakan perlu dibahas dan dirembuk kembali, “Para birokrat kampus tidak pernah mengikutsertakan mahasiswa dalam pemenentukan kebijakannya” ungkap Anang ketua LKP2M. Mahasiswa dalam hal ini merupakan bagian dari realitas kampus yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, sebuah realitas bisa dipresepsikan berbeda oleh tiap individu, dan juga bisa dipresepsikan berbeda oleh anggota pablik yang berbeda12.
Sementara GAM (Gerakan Aksi Mahasiswa) seperti diliris oleh buletetin Patriotik adalah sebuah gerakan mahasiswa yang berasaskan kebersamaan. Gerkan “demonstari” muncul sejak diberlakukannya jam malam. Pada umumnya seluruh semua “mahasiswa” UKM menolak terhadap pemberlakukan jam malam tersebut karna jam malam mempersulit bagi pengurus UKM untuki melakukan pengkaderan.
Kemudian dengan diberlakukannya jam malam tersebut mahasiswa UKM khususnya melakukan kordinasi mengklarifikasi kembali terhadap kebijakan jam malam tersebut. Bahkan BEM U (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas) mengeluarkan surat somasi, yang isinya adalah meninjau ulang aturan jam malam dan memenuhi semua fasilitas OMIK (Organisasi Mahasiswa Intra Kampus)13.
Kemudian untuk menindak lanjuti somasi tersebut mahasiswa tidak hanya berhenti dan diam mereka melakukan kordinasi kembali.
Sebelum mahasiswa melakukan aksi demonstra di depan Rektorat. Mahasiswa dan para utusan UKM/OMIK sempat duduk bersama merundingkan masalah jam malam dengan bagian kemasiswaan tepatnya di sebelah barat jalan di kantor kemahasiswaan di gedung SC (sprot center).
Akan tetapi pertemuan itu tidak mengahsilkan kesepakatan apa pun buntu di tengah jalan.
Karna mahasiswa kecewa terhadap kemasiswaan yang kurang respek terhadap keluhan mahasiswa. Kemudian setelah itu “mahasiswa” seluruh anggota OMIK menduduki SC sampai jam sebelas malam. Pada kesempatan As’ad Al Masruri, Presiden BEM U meminpin dialok antara OMIK, “Sebenarnya masalah yang kita rasakan bukan hanya kita yang merasakan seluruh kampus di Indonesia mengeluh hal yang sama” As’ad menegaskan kepada seluruh yang hadir pada saat itu.
Salah satu mentri luar negeri Koming mengatkan “kita harus tetap pada kesepakatan kita menolak terhadap kebijakan Rektor Imam, karna kebijakan itu sangat dirasa tidak manusiawi dan malah memfakumkan krearifitas mahasiswa, disini juga preseden selaku tombak kekuatan kita harus dan wajib mendampingi kita.
Sebelum terjadi kordinasi dan dialok dengan pengurus OMIK anggota “mahasiswa” sempat diambrak dan tengkar mulut dengan satpam dan sempat terjadi tarik menarik dengan petugas. Dan seluruh yang hadir pada malam itu untuk membumbuhi tanda tangan yang disodorkan oleh petugas satpam.
Semenjak itu lah pertikaian kecil dengan petugas “kampu” telah terjadi. Sebenarnya pertikaian yang terjadi itu merupakan ketimpangan antra imeg yang ditonjolkan dengan realitas di lapangan.
Menurut Soejono, pertikaian adalah suatu bentuk dalam interelasi social di mana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengeyahkan yang lain yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedan pendapat antara pihak-pihak tersebut14. Dalam hal ini dapat kita tarik pada fenomena yang ter jadi di Uin di mana mahasiswa melakukan reaksi penolakan pada kibijan. Penolakan itu merupakan sebuah indikasi ketidak setujuan di mana ketidak setujuan itu mengarah pada sebuah tindakan menjatuhkan kepeminpinan.
Kasus Trisakti dan Semanggi pada tahun 1999 yang dimotori oleh mahasiswa dan LSM merukan sebuah pergolakan sosial yang besar. Pergerakan mahasiswa dikarnakan oleh kondisi social masyarakat pada saat itu semakin terpuruk. Pada masa orba banyak refresi yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu. Korupsi (KKN) terjadi di mana-mana.
Sedangkan tujuan dari pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa menuntut hak-hak rakyat untuk dikepankan. Sementara pada masa itu masih fanatik pada golongan. Ketika ada ketidak adilan dalam sebuah tatanan maka akan terjadi penolakan-penolakan.
Sementara kasus demonstarasi yang dilakukan oleh mahasiswa UIN merupakan reaksi penolakan terhadap kebijakan jam malam. Karna jam malam mempersulit pengakaderan. Seperti direlis oleh Majalah UAM INOVASI Daifit Fatkhurrahman ketua Umum UKM Seni Relegius 2007, mengatakan “ kerepotan sekali untuk melakukan pengkaderan anak baru, apalagi mereka harus mengikuti PKPBA sampai jam delapan malam. Hanya ada sabtu sore, itu pun tidak maksimal, biasanya banyak yang pulang. Kalua ditempat dulu kita bisa latihan setelah anak-anak pulang PKPBA sampai jam sepuluh malan15.
Menurut soerjono soekanto menjelaskan bahwa pertentangan adalah suatu peruses social di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan16. Fenomena yang terjadi pada (4/6/2008) merupakan pergolakan social dalam sekop kampus.
Pada satu sisi aksi demonstrasi bertujuan untuk mewujudkan cita-cita UKM agar gerak lajunya diberi ruang yang layak. Karna peraturan jam malam dinilai oleh seluruh anak UKM tidak mendidik, justru mematikan kreatifitas yang diretas oleh masing-masing UKM.
Menurut salah anggota BEM Komang “kalau kampus “Birokrasi” menerapkan jam malam dengan alasan menghindari hal yang tidak diinginkan sebanarnya tidak harus mematikan kreatifitas mahasiswa yang lain”. Dia mencohtan seorang bapak/ibu mempunyai dua atau tiga anak, kemudian salah satu anaknya melakukan sina, apakah anak yang lain akan dikenakan sangsi karna kesalahan salah satu anak itu, kan tidak adil, begitu pun dikalngan OMIK semestinya semua OMIK tidak pukul rata dengan mengeluarkan kebijan peraturan yang tidak akademis samasekali. Seharusnya kampus menambah perseonil keamanan dan menegakkan disiplin yang tinggi tanpa harus mematikan kereatifatas mahasiswa.
Ada sebuah selogan Power tends to corrupt, absolute power corrups absolutely (kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak kurupnya pun mutlak pula). Oleh sebab itu, tokoh kita (peminpin) harus pula menegakkan nilai-nilai mulia17. Dalam buku pencegahan korupsi dijelaskan bahwa korupsi tidak hanya berupa tertuju pada materi “uang” akan tetapi menghilangkan hak-hak yang semestinya dirasakan oleh orang juga adalah korupsi.
Mungkin dalam lingkungan kampus UNI tindak korupsi berupa uang tidak ada, akan tetapi mengenai waktu, mungkin hal itu harus dipahami bersama.
“Aksi mahasiswa yang mengatasnamakan GAM (gerakan Aksi Mahasiswa) terhadap kebijakan-kebijakan rektorat di kampus UIN Malang pekan lalu, menjadi titik kulminasi kekecewaan mahasiswa pada kinerja birokrat. Kejadian itu tentunya mengisyaratkan lemahnya sistem pemerintahan yang ada di RM UIN Malang, dan lemahnya peran aktif para birokrasi terhadap rakyatnya dalam hal ini mahasiswa.
Perlindungan kampus
Ketika sebuah kampus dipilih sebagai wadah pengembangan akademik pendidikan, ada konsekuensi yang harus diletakan sebagai dasar, konsekuensi itu adalah sebuah kampus berdiri atas dan untuk kepentingan rakyat (Mahasiswa). Dengan demikian ia semata berdiri untuk melindungi tercapainya hak-hak dan kewajiban rakyatnya termasuk kesejahteraan dan hak asasi di dalamnya.
Dengan dasar itu sebuah kampus diberi wewenang untuk menggunakan wewengan (kekuasaan legal) terhadap perkembangan dan pertumbuhan kampus itu sendiri, akan tetapi dalam hal ini kampus dituntut untuk bersikaf bijak dalam menggunakan wewenagnya agar kemudian tidak ada yang merasa dirugikan baik masyarakat, dosen, rektor maupun mahasiswa.
Sayangnya pelbagai kejadian yang sering muncul di dalam kampus, baik mengenai kebijakan-kebijakan, ataupun hal lainnya, sering kali mendapat respon yang negative dari perorangan ataupun kelompok tetentu. Hal ini tentunya lebih mencerminkan pada lemahnya sistem yang ada. dan terabaikannya keselamatan dan kesejahteraan mahasiswa karna ketidak tegasan peran birokrasi dalam mengawal mahasiswa. Lebih dari itu diskriminasi perlakuan yang ditujukan aparat birokrasi kepada kelompok-kelompok masyarakat (mahasiswa) telah menimbulkan pertanyaan akan keberpihakan aparat.
Perilaku ricuh yang dilakukan oleh berbagai organ mahasiswa seringkali tidak mendapat reaksi atau ransangan yang responsive dari pihak birokrasi kampus. Sebaliknya aksi mahasiswa sering kali mendapat kawalan ketat dan perlakuan keras . misalnya kasus bentrokan di Universitas Nasional di Jakarta pekan lalu.
Jika pada masa pemerintahan Orde baru sorotan atas isu kekerasan lebih banyak ditujukan kepada Negara sebagai pelaku, maka tren yang berkembang paska reformasi adalah ditujukan kepada komunal antar kelompok masyarakat.
Pada periode Orde Baru kontrol atas Negara lemah, Negara menjadi begitu kuat sehingga tak ragu menggunakan kekerasan untuk menciptakan stabilitas. Setelah runtuhnya rezin orba, control terhadap Negara diperkuat namun ditengah posisi seperti ini, Negara terpojok ke posisi lemah dalam mengendalikan berbagai kemplek kekerasan yang berkembang
Tidak hanya itu, sejuml;ah organ acap kali melakukan aksi-aksi yang seharusnya menjadi tanggung ajwab Negara hal ini menjadi simbolisasi dari bentuk ketidak percayaan publik kepada negaranya18.
Sebab-sebab Terjadinya Bentrok Mahasiswa (GAM) Dengan Petugas.
Pengalangan massa GAM, 4/6/2008 dilakukan di samping Masjid Tarbiyah tepat di dekat Menara. Awalnya terlihat hanya sekitar 5-6 orang. Kemudian masing-masing dari keenam orang tersebut bergegas maju ke utara melewati belakang Masjid menuju Mahad putra. Dari situlah kemudian massa semakin bertam. Sambil menyuarakan yel-yel dari masing-masing terus mengajak satu teman pad teman yang lain.
Setelah selesai mengajak santri permabna kemudian mereka merapikan barisan. Ada salah seorang yang memberi pembatas para pendemo. Pendemo dimasukkan dalam gari tali raffia. Setelah itu mereka terus meneriakkan yel-yel “hidup mahasiswa …. hidup mahasiswa 2x” dan berarak meju ke arah selatan melewati belakang gedung perpus. Kemudian berjalan sambil tetap menyuarakan yel-yel. Sesekali mengajak simpati mahaiswa untuk bergabung. Kemudian tepat di depan SC semua rombongan berhanti dudu bersama sambil membacakan doa bersama.
Salah satu diantara mereka masuk ke dalam SC untuk mengajak teman yang lain. Setelah usai membacakan doa bersama kemudian para pendemo bergerak kea rah timur melewati gedung B. Tepat di depan gedung B rombongan berhenti dan mensuiping kelas-kelas untuk ikut berdemo.
Sambil menyanyikan lagu Indonesia raya, salah satu dari orator memecah suara “yang merasa mahasiswa turun” kemudian ditirukan “Turun… turun turun turun”.
Kemudian aksi dilanjutkan di depan gedung rektorat. Para pendemo sempat kecewa. Birokrasi tidak cepat menemui para pendemo. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Sambil melakukan orasi dan meminta para birok rasi untuk menemui dan menanggapi tuntutan mereka.
Sayogo menegaskan bahwa masa depan bangsa ini sekarang berada di tangan generasi pemuda19. Mahasiswa sebagai agen of cange bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki hak. Dan yang melekat pada diri mereka mesti diapresiasi.
Akan tetapi ketika reaksi yang dilakukan oleh mahasiswa ditafsiri nigatif maka apa yang dilakukan oleh mereka seakan menjadi kesia-sian. Seperti beberapa media melangsir mahasiswa melakukan anarki dalam melakukan/ menyuaran aspirasinya.
Seperti diungkapkan Anang “bahwa apa yang diberitakan oleh media “mahasiswa bertindak anarkis” padahal tidak seperti itu justru pihak keamanan yang terlalu berlebihan, seandainya teman kita tidak disekap/ segera dilepaskan pada saat itu itu tidak akan terjadi, Lagi pula anak-anak pada saat itu meminta pada birokrat untuk menginjinkan kita semua, tapi apa yang terjadi, birokrat semua di gedung mengah itu, kami ingin masuk secara damai beristigasyah bersama.
Menurut Koming “pecahnya pintu kaca Rektorat itu adlah tidak disegaja, dan itu pun bukan karna mahasiswa tapi karna terjadi desak-desakan. Tindakan mahasiswa terjadi prokontra dikalangan dosen dan mahasiswa, ada sebagian dosen setuju dengan tindakan mahasiswa ada yang tidak begitu pun dengan mahasiswa.
Kalau kita tarik apa yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan bagian kecil dari konflik social. Fenomena konflik bukanlah hal baru, ia merupakan fenomena purba, sama purbanya dengan sejarah manusia itu sendiri20. Selama ribuan tahun manusia berusaha memecahkan dan mencari jalan keluar dari persenggetaan di antara mereka sendiri, hasilnya ialah tumpukan buku-buku di perpustakaan.
Ada orang yang melihat kenyataan konflik dengan presepsi yang sangat bersahaja, yaitu melepaskan emosi dan vested interest-nya dari peristiwa yang terjadi, melampaui kepentingan-kepentingan pragmatis, dan memasuki dunia batin yang dianggap lebih penting dari konflik itu sendiri21.
Gejala konflik tidak bisa terlepas dari perasaan dan emosi. Perasaan (feeling) dan emosi (emotian) merupakan dua keadaan yang bersifat sementara dalam kehidupan individu. Keduanya merupkan integral dari keseluruhan aspek psikis individu (manusia). Namun emosi mempunyai arti yang agak berbeda dengan perasaan. Emosi lebih kompleks dibandingkan perasaan. Dengan kata lain perasaan bagian dari emosi. Emosi dapat didefinesikan sebagai suatu perasaan yang timbul melebihi batas sehingga kadang-kadang tidak dapat menguasai diri dan menyebabkan hubungan pribadi dengan dunia luar menjadi putus22.
Ketika sebuah perasaan itu amat peka terhadap gejala social. Sehingga rentan memicu konflik. Pada dasarnya apa yang terjadi pada GAM pada saat itu merupakan suatu hal yang bisa diantisipasi secara arif pada saat itu. Akan tetapi ketika sebuah antisipasi yang dilakukan oleh birokrat menyekap salah satu peserta demo hal itu yang justru memicu timbulnya perasaan emosi. Karana pada gerakan itu terbangun sebuah roh kebersamaan.
Massa GAM meneriakan suara kebersamaan yang pada intinya melindungi satu dengan lainya. Muncullah sebuah emosi. Perasaan tidak rela teman disekap. Hawatir terhadap perampasan KTM.
“Birokrasi sengaja membentrokkan satpam dengan mahasiswa ” teriakan itu dilontarkan oleh Andre, salah seorang perangkat aksi demonstrasi yang terjadi rabu pagi kemarin. Dia berteriak-teriak dari samping barisan yang mulai berdudukan di depan rektorat, jumlahnya kira-kira 300-an.
Sebelumnya masa berkumpul di depan masjid At-Tarbiya dengan masa yang minim. Massa kemudian mencari dukungan dari mahasisiwa lain dengan melakukan konfoy keliling area kampus, mulai dari kawasan Ma ’ had, perkantoran, hingga kawasan perkuliahaan. Ketika hendak memasuki area rektorat, massa dihadang sekompok satpam yang hedak mengalihkan mereka menghindari pelataran rektorat. Tetapi dengan sedikit bentrokan dan saling dorong, dan karena satpam kalah jumlah, akhirnya massa bisa menembus barikade satpam. Dalam sesi orasi awal, andre kambali menegaskan kepada massa bahwa satpam yang sedang dihadapi di depan mereka adalah sahabat mahasiswa, mereka bukan preman. Mereka hanya sebagai pegawai yang digaji oleh majikannya, dan harus menuruti segala perintah majikannya.satpam juga mempunyai anak dan istri yang perlu dihidupi.
Beberapa satpam siaga mengamankan lokasi demonstrasi, umumnya mereka berjaga-jaga di depan pintu utama rektorat, menahan demonstran agar tidak merangsak masuk, juga berjaga-jaga di seputar mobil mewah para birokrat yang belakangan diefakuasi sopirnya. Jumlah mereka bisa dihitung dengan jari, sedangkan bertanggaung jawab mengamankan aksi ratusan demonstran. Hal yang paling mendasar yang harus disadari oleh mahasiswa adalah dengan siapa kita harus berhadapan dan melampiaskan tuntutannya. Yang harus kita paksa untuk keluar adalah jajaran birokrasi yang lebih berkuasa yang menjadibiang keladi permasalahan.
Birokrasi telah semena-mena membuat kebijakan yang mengebiri kreatifitas mahasiswa, yang telah menyimpan tranparansi-baik transparansi dana maupaun transparansi kebijakan-di dalam peti besi dan menguburnya dalam-dalam di bawah lantai kantor rektorat. Hingga tak seorangpun mempuyai hak untuk mengetahui segala hal tentang kebijakan kampus, dan tidak diberi keleluasaan untuk menyapaikan aspirasi dan pendapat. Sekali lagi, birokrasi yang pada dasarnya harus kita lawan, dan kita dudukkan untuk menyetujui tuntutan cerdas mahasiswa, dan untuk menemukan jalan keluar yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan satpam.mereka hanya pegawai yang tidak tahu akar permasalahan yang ada. Mereka berada dalam krisis dua kubu yang masing-masing
Mempunyai kehendak yang harus diperjuangkan. Satpam erada dalam situasi dilematis, mereka terjepit diantara dua kubu itu. Menreka hanyamenjalankan tugas untuk mendapatkan gaji di akhir bulam, dan gaji tersebut mereka gunakan untuk menghidup keluarga di rumah. Satpam menjadi korban benturan dua kubu.
Mereka terperangkap dalam situasi yang penuh emosi karena mahasiswa sudah sangat geram dengan tingkah laku birokrasi dengan kebijakan-kebijakan tidak adil. Kebijakan yang tanpa memperhitungan yang matang, dan tanpa melibatkan mahasisiwa di dalalmnya. Mahasiswa seolah wajib mempunyai nalar kritis karena mereka adalah “ Agen Of Change ” memang sangat berpotensi untuk merubah ketimpangan-ketimpangan di sekitar mereka, dan sangat bersemangat untuk sesegera mungkin menyelesaikan permasalahan yang menggelayuti pikiran mereka. Tetapi sekikap emosional adalah masalah besar dalam aksi-aksi yang bertujuan mulya.
Sekali terprovokasi, kericuhan akan terjadi karena hilangnya kendali komando. Kemudian mereka lupa tujuan aksi sebenarnya, sehingga satpam menjadi pelampiasan emosi mahasiswa karena dianggap sebagai penghalang aksi. Pada hakekatnya, mahasisiwa tidak pernah anarkis.
Kata anarkis adalah bahasa yang dimunculkan media semata-mata untuk menghiperbola situasi. Media memang sangat mempertimbangkan nilai jual dan pangsa pasar. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi lebih tepat disebut sebagai kericuhan yang memang tidak terkoordinir dengan sempurna.
Mahasiswa selalu beriktikad baik dengan melakukan aksi damai. Kasus pecahnya apintu kaca utama rektorat adalah akibat dari kekecewaan mahasiswa atas respon negates yang diberikaan oleh birokrasi. Birokrasi tidak menanggapi secara serius tuntutan mahasiswa, buktinya dengan tidak mau menandatangani surat perjanjian yang diajukan mahasiswa. Tetapi pertanyaanya, mengapa yang harus menjadi objek utama emosi mahasiswa adalah aparat satpam? 23.
Seperti yang dinyatakan sebelum ini, mestilah difahami dalam peristilahannya sendiri. Dalam mengatakan demikian bukanlah bermakna bahawa kita bersetuju dengan penggunaan satu bentuk ukuran umum bagi menilai sesuatu. Ukuran tersebut tersebut mungkin merangkumi jangka hayat, keluaran negara kasar (gross national product), hak demokrasi, kadar celik huruf, dan sebagainya. Tidak berapa lama dahulu satu amalan yang sering dilakukan oleh masyarakat Eropah ialah menilai masyarakat di luar Eropah mengikut peratusan penduduknya yang memeluk agama Kristian. Seandainya peratusan itu tinggi maka tinggilah kedudukan negara tersebut mengikut kayu ukuran yang digunakan. Penilaian terhadap manusia seperti yang dilakukan itu sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan pendekatan antropologi. Oleh itu, jika kita ingin menilai mutu hidup dalam sesebuah negara atau masyarakat luar, kita mestilah terlebih dahulu memahami masyarakat itu dari dalam; jika tidak penilaian yang kita buat itu mempunyai nilai ilmiah yang sangat terbatas. Apa yang dianggap sebagai ‘gaya hidup yang baik’ dalam masyarakat Eropah misalnya, tidak semestinya menarik dan sangat-sangat dikehendaki jika dinilai dari sudut dan kedudukan masyarakat lain. Bagi memahami erti sebenar kehidupan sosial sesuatu masyarakat, maka sangat perlu untuk kita cuba mendalami terlebih dahulu bagaimana alam nyata sesuatu masyarakat difahami dan dirasai sendiri oleh ahli-ahlinya. Untuk berjaya dalam usaha ini, maka tidak memadai jika kita hanya memilih beberapa ‘angkubah’ sahaja. Ternyata bahawa penggunaan konsep seperti ‘pendapatan tahunan’ tidak sesuai sama sekali bagi sebuah masyarakat yang tidak mengenali mata wang serta tidak tahu akan kaedah kerja yang diupah dengan uang.
Penghujatan seperti di atas boleh lah dianggap sebagai amaran awal terhadap etnosentrisme. Istilah tersebut berasal daripada perkataan Yunani (ethnos bermaksud ‘orang’) Etnosentrisme membawa maksud bahawa kita menilai masyarakat lain daripada kaca mata kita sendiri, serta memperihalkan mereka dalam peristilahan kita. Dengan demikian, ciri-ciri ethnos yang ada pada diri kita, termasuk nilai budaya kita, dijadikan kayu ukur dalam penilaian tersebut. Justeru itu tidak hairanlah jika orang lain atau masyarakat asing kelihatan begitu rendah taraf sosial dan budaya mereka jika dipandang dari kaca mata ethnos kita. Misalnya jika kita mendapati bahawa di kalangan masyarakat Nuer kemudahan pinjaman untuk membeli rumah daripada institusi kewangan sukar diperolehi, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa masyarakat Nuer tidaklah sesempurna masyarakat kita. Jika kita mendapati bahawa kemudahan bekalan elektrik tidak terdapat di kalangan orang Kwakiutl di pantai barat Amerika Utara, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa cara hidup orang Kwakiutl itu tidak sejahtera berbanding dengan cara hidup kita. Jika sekiranya orang Kachin di sebelah utara Myanmar menolak agama Kristian, maka kita tidak boleh menganggap bahawa orang Kachin tidak bertamadun. Jika sekiranya orang San (kaum Bushmen) di gurun Kalahari buta huruf, maka kita tidak boleh terus menyatakan bahawa mereka itu tidak pintar. Jika sekiranya kita terus menerus mempunyai pandangan berunsur etnosentrisme, maka ternyata bahawa kita sama sekali tidak memberikan sebarang peluang bagi orang lain untuk mempunyai sebarang perbezaan dan hidup dalam persekitaran sosial dan budaya yang berlainan24.
Sebuah komonitas yang di dalam terdiri dari banyak ragam dan fareabel kepentingan menuntut adanya sebuah pengakomodasian yang maksimal dan efektif. Suara mereka (mahasiswa) dalam hal ini harus benar-benar diberi ruang dan yang baik. Keselahan pada 4/6/2008 merupakan hal yang semestinya tidak terjadi.
Kekecewaan mahasiswa pada saat aksi 10/06/2008. di mana Imam Supra Yogo selaku penentu kekuasan tidak segera menemui pada demonstran.
Solusi Permasalahan
Orang bijak mengatakan “tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan di dunia ini” ungkapan tersebut memang ada benarnya. Akan tetapi terkadang dalam penyelesaian “persoalan” banyak orang yang terjebak pada nilai-nilai pristise “super ego” sehingga dalam menyelesaikan persoalan cenderung dengan kekerasan.
Perisriwa 10/06/2008 merupakan fenomena yang bisa terjadi di mana saja. Dalam analis sosila sebuah konflik merupakan hal yang penting untuk menuju keseimbangan. Dalam ranah demokrasi, konflik sangat diperlukan.
Akan tetapi di sini perlu ditekan-kan konflik bukan berarti perpecahan “kekerasan” konflik merupakan dinamika sosial yang mengarah pada kesetabilan. Mengedepankan asas kebersamaan sehingga nantinya dari konlfik akan terbentuk penyatuan konsep ide.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam penyelesai sebuah konflik diantaranya sebagai berikut :
Dialog
Keterbukaan
Tidak mengedepankan emosional
Saling menghargai
Atbitrasi
Sebuah persoalan dapat diselesaikan melalui dialog. Karna dengan adanya sebuah dialog persoalan “konflik” dapat diselesaikan dengan bijak. Dalam hal ini dialok mesti dibiasakan dalam sebuah persoalan. Belakangan ini dialok masih belum dibisakan, sehingga dalam sebuah keputusan sering berakhir ricuh yang berujung pada kekerasan.
Sifat keterbukan selaknya dibiasakan dalam hal apa pun “positif” karna dengan begitu akn tercipta sebuah akselrasi dan menghindari pertikaian. Pola sifat keterbukan harus dibumikan dan ditradisikan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian dari keterbukaan itu diharapkan adanya rasa simpati “saling menghargai” dalam perbedaan.
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :
pencarian pemuasan psikis
kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultura25.
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia26.
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Aksi mahasiswa yang mengatasnamakan GAM (gerakan Aksi Mahasiswa) terhadap kebijakan-kebijakan rektorat di kampus UIN Malang pekan lalu, mereupakaan kekecewaan mahasiswa pada kinerja birokrat. Kejadian itu tentunya mengisyaratkan lemahnya sistem pemerintahan yang ada di RM UIN Malang, dan lemahnya peran aktif para birokrasi terhadap rakyatnya dalam hal ini mahasiswa.
Sedangkan demonstrasi adalah unjuk rasa; tindakan bersama untuk menyatakan protes. Protes kersas tentang ketidak adilan atau penyelewengan dilakukan dengan banyak orang desertai poster dan yelyel.
Latar belakang demo tidak bisa lepas dari pembentukan imeg oleh kampus. Philip Kotler dalam Topor menyatakan bahwa Image Is Power. Citra yang positif merupkan aset yang sangat berharga di pasar (market place).
Menurut Soejono, pertikaian adalah suatu bentuk dalam interelasi social di mana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengeyahkan yang lain yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedan pendapat antara pihak-pihak tersebut.
Tujuan dari pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa menuntut hak-hak rakyat untuk dikepankan. Sementara pada masa itu masih fanatik pada golongan. Ketika ada ketidak adilan dalam sebuah tatanan maka akan terjadi penolakan-penolakan.
Sementara kasus demonstarasi yang dilakukan oleh mahasiswa UIN merupakan reaksi penolakan terhadap kebijakan jam malam. Karna jam malam mempersulit pengakaderan. Seperti direlis oleh Majalah UAM INOVASI Daifit Fatkhurrahman ketua Umum UKM Seni Relegius 2007, mengatakan “ kerepotan sekali untuk melakukan pengkaderan anak baru, apalagi mereka harus mengikuti PKPBA sampai jam delapan malam. Hanya ada sabtu sore, itu pun tidak maksimal, biasanya banyak yang pulang. Kalua ditempat dulu kita bisa latihan setelah anak-anak pulang PKPBA sampai jam sepuluh malan.
Menurut soerjono soekanto menjelaskan bahwa pertentangan adalah suatu peruses social di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan.
Gejala konflik tidak bisa terlepas dari perasaan dan emosi. Perasaan (feeling) dan emosi (emotian) merupakan dua keadaan yang bersifat sementara dalam kehidupan individu. Keduanya merupkan integral dari keseluruhan aspek psikis individu (manusia). Namun emosi mempunyai arti yang agak berbeda dengan perasaan. Emosi lebih kompleks dibandingkan perasaan. Dengan kata lain perasaan bagian dari emosi. Emosi dapat didefinesikan sebagai suatu perasaan yang timbul melebihi batas sehingga kadang-kadang tidak dapat menguasai diri dan menyebabkan hubungan pribadi dengan dunia luar menjadi putus.
Apa yang dianggap sebagai ‘gaya hidup yang baik’ dalam masyarakat Eropah misalnya, tidak semestinya menarik dan sangat-sangat dikehendaki jika dinilai dari sudut dan kedudukan masyarakat lain. Bagi memahami erti sebenar kehidupan sosial sesuatu masyarakat, maka sangat perlu untuk kita cuba mendalami terlebih dahulu bagaimana alam nyata sesuatu masyarakat difahami dan dirasai sendiri oleh ahli-ahlinya. Untuk berjaya dalam usaha ini, maka tidak memadai jika kita hanya memilih beberapa ‘angkubah’ sahaja. Ternyata bahawa penggunaan konsep seperti ‘pendapatan tahunan’ tidak sesuai sama sekali bagi sebuah masyarakat yang tidak mengenali mata wang serta tidak tahu akan kaedah kerja yang diupah dengan uang.
Penghujatan seperti di atas boleh lah dianggap sebagai amaran awal terhadap etnosentrisme. Istilah tersebut berasal daripada perkataan Yunani (ethnos bermaksud ‘orang’) Etnosentrisme membawa maksud bahawa kita menilai masyarakat lain daripada kaca mata kita sendiri, serta memperihalkan mereka dalam peristilahan kita. Dengan demikian, ciri-ciri ethnos yang ada pada diri kita, termasuk nilai budaya kita, dijadikan kayu ukur dalam penilaian tersebut. Justeru itu tidak hairanlah jika orang lain atau masyarakat asing kelihatan begitu rendah taraf sosial dan budaya mereka jika dipandang dari kaca mata ethnos kita. Misalnya jika kita mendapati bahawa di kalangan masyarakat Nuer kemudahan pinjaman untuk membeli rumah daripada institusi kewangan sukar diperolehi, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa masyarakat Nuer tidaklah sesempurna masyarakat kita. Jika kita mendapati bahawa kemudahan bekalan elektrik tidak terdapat di kalangan orang Kwakiutl di pantai barat Amerika Utara, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa cara hidup orang Kwakiutl itu tidak sejahtera berbanding dengan cara hidup kita. Jika sekiranya orang Kachin di sebelah utara Myanmar menolak agama Kristian, maka kita tidak boleh menganggap bahawa orang Kachin tidak bertamadun. Jika sekiranya orang San (kaum Bushmen) di gurun Kalahari buta huruf, maka kita tidak boleh terus menyatakan bahawa mereka itu tidak pintar. Jika sekiranya kita terus menerus mempunyai pandangan berunsur etnosentrisme, maka ternyata bahawa kita sama sekali tidak memberikan sebarang peluang bagi orang lain untuk mempunyai sebarang perbezaan dan hidup dalam persekitaran sosial dan budaya yang berlainan.
SARAN-SARAN
Uraian di atas masih jauh dari kesempurnaan maka kami mohon keritik dan saran, khususnya dosen pembimbing, demi kesempurnaan makalah ini. Hidup adalah proses dan membutuhkan keberanian, sedang keberanian itu tidak akan ada tanpa adanya latihan. Kehidupan butuh semangat dan percaa diri agar apa yang kita kerjakan memberi kepuasan.
Daftar Pustaka
Abdulsyani 2002 Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan PT Bumi Aksara Jakarta
Jurnal el-harokah 2007, Januari Vol.9,No1 Jurnal Studi Islam dan Kebudayaan Universitas Islam Negeri Malang
Pius A Partanto M. Dahlan Al Barry 1994 KAMUS ILMIAH POPULER Penerbit “ARKOLA” Surabaya
KAMUS HAHASA INDONESIA Tim bahasa pustaka agung harapan …… CV Pustaka Agung Harapan
Jurna ULUL ALBAB. 2005. Vol.6 No 1 Jurnal Studi Islam, Sain dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang
Buletin Mahasiswa PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif Juni 2008. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” UAPM INOVASI Universitas Islam Negeri Malang
Wasesa, Silih Agung, 2005. Strategi Public Relations, PT Gramedia Pustaka utama Anggota IKAPI
KOMPAS 2008, 28 Juni Tugas Cendiakiawan Mencari Kebenaran,
Thaha Idris Februari 2005. DEMOKRASI RELEGIUS TERAJU PT Mizan Publika Jakarta
Majalah Mahasiswa UAPM INOVASI 2008 Merayakan Apnormalitas Edisi XXIV Maret- Juli Universitas Islam Negeri Malang
Majalah GATRA 2004. Hajatan Demokrasi Muslim Indnesia No 1-2 tahun XI 27 November, PT Era Midia Informasi.
al. et. Dr. Nurcholish Madjid, 2002. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern PT MEDIACITA, Jakarta.
http://smallbusiness.yahoo.com, Albykazi , Abu Yahya Rizki Ibn Heru , 2008 Teori Fungsional - Struktural. Senin, Maret 03
Baharuddin, H. 2007. Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. AR-RUZZ MEDIA GROUP.
Ismail , Mohamed Yusoff, 2001. Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya. www. goggle. co.id
1 PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” Juni 2008
2 Syamsuddin Budaya tawur di Indonesia El- harokah Jurnal Studi Islam dan Kebudayaan Vol.9, No.1, Januari-April 2007 halaman 31
3 Opcet halaman 31
4 Tim bahasa pustaka agung harapan KAMUS HAHASA INDONESIA hlm 336
5 Op cet halaman 335
6 Op cet halaman 475
7 Pius A Partanto M. Dahlan Al Barry KAMUS ILMIAH POPULER hlm 100
8 Op cet halaman 132
9 Sugeng Listyo Prabowo ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, Sain dan Teknologi Vol.6 No 1 tahun 2005 hlm 160
10 Silih Agung Wasesa STRATEGI PUBLIC RELATIONS hlm.13
11 Idris Thaha DEMOKRASI RELEGIUS hlm. 235
12 Silih Agung Wasesa STRATEGI PUBLIC RELATIONS hlm.13
13 INOVASI EDISI XXIV MARET- JULI 2008 hlm 59
14 Abdulsyani Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan hlm 158
15 INOVASI EDISI XXIV MARET- JULI 2008 hlm 58
16 Opcet. hlm 158
17 Majalah GATRA No 1-2 tahun XI 27 November 2004 hlm 114
18 Buletin PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” Juni 2008
19 KOMPAS Tugas Cendiakiawan Mencari Kebenaran, Sabtu 28 Juni 2008 hal 1-15
20 Dr. Nurcholish Madjid et. al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. hlm 14
21 Opcet. hlm 14
22 Drs. H. Baharuddin, M.Pdi, Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena, 2007 hal I138
23 Buletin PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” Juni 2008
24 www. goggle. co.id. Mohamed Yusoff Ismail, Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya.
25 http://smallbusiness.yahoo.com, Abu Yahya Rizki Ibn Heru Albykazi Teori Fungsional - Struktural. Senin, Maret 03, 2008
26 Op cet smallbusiness.yahoo.com