Sabtu, 13 Desember 2008

KUMPULAN PUISI TANPA JUDUL
Tanpa kau:
Malam masih bergandeng keramaian
Anginpun merangkul pohon cemara dengan mesra
Gemerincik air diantara batu mengulas indahnya laju hidup
Di mana engkau berada disenggang waktu semalam.
Malang 01/11/2008
Jika tangisan adalah ungkapan bahasa
Lantas dengan apa kau memaknainya
Perlu kau ketahui bahwa himpitan hidup
Mendesaknya untuk hal itu
Tentu kamu tau atau sekedar berpura-pura
Jika setiap tangis adalah doa lantas dengan apa
Kamu mengabulkannya
Ketenangan tentu takcukup karna kompleksnya hidup
Lantas jaminan hidup macam apa yang akan kau suguhkan
Tentu hal ini adalah tanya yang orang2 bilang kesesatan
Namun bila hal itu penting biarlah tersesat sesaat karna pencarian tentangmu
Jangan biarkan tanyamu menjaukan langkah.
Malang 24/10/2008
KENAPA
Kenapa aku begitu mencintaimu
Kenapa juga aku menghawatirkanmu
Kenapa aku sangat gelisah ingin jumpa denganmu
Kenapa pula dirimu tak jua mengerti akan gelisahku
Kenapa sulit rasanya aku menepis semua perasaanku padamu.
Malang 29/09/2008
Kerinduanku melekat pada senja
Melambai harap dititian doa
Jangan kabarkan mimpi tentang malam
Yang bertabur bintang
Aku akan selalu mendambamu
Selagi siang/malam menjadi nafasku.
Malang 29/09/2008
Hidup adalah pilihan
Percikan kata terkadang menjadi luka
Hingga senyum tulus menjadi hampa
Jika pertemanan ini masih bisa dirajut
Maka biarkanlah kenangan mengurai makna
Pada tiap hela’an nafas.
Malang 25/09/2008
Sebatas aku mampu menggapai
Sebisa kaki malangkah
Lantasa kenapa mesti berpasrah pada ketentuan
Yang tak mesti
Ada kenyataan yang bisa dilampaui
Lantas kenapa pula
Hanya mengamininya
Tak adakah gerak nyata
Malang 23/10/2008
Mengingatmu laksana
Membuat lukisan di padangpasir
Hembusan angin yang tak pernah mau tau akanku
Semakin menjauhkan harap dan mimpiku
Tentangmu
Gesekam bumi hatiku menghalau
Segala hasrat akanmu.
Jangan tanyakan lagi
Malang 23/10/2008
Selebihnya maafkan aku
Maafkan atas kesengajaanku yang
Telah mencintaimu
Tapi kenapa mesti minta maaf?
Alah !! biar itu hanya apologi saja
Tapi jangan kau racuni aku lantaran cinta ini
Biarkan aku menikmatinya
Kuharap kamu bisa paham
Pasti kamu akan bertanya, kok bisa ?
Aku tidak perlu menjelaskan hal itu
Karna cinta tidak bisa dijelaskan
Tapi untuk dirasakan
seperti aku yang merasakannta saat ini
Malang 23/10/2008
Ibu
Dengan apa aku harus berterimakasih, seluruh raga dan jiwa, adalah kasihmu
Langkah yang kugayuh berkat doamu, apa yang kusaksikan hanya engkau nampak
Ibu perjuangan dan jasamu adalah lentara di kehidupanku, keringat yang mengalir dari pundakmu adalah amanat bangsa untuk anakmu untuk selalu gigih menghadapi hidup.
Walau engaku terkadang tersandung saat menyuapiku, namun kau tetap peluk aku
Aku bagai raja kecil disimu, tahun-tahun berjalan kau bekali restu untukku
Saat ganas kota mencabik sum-sum yang kau tanam, perlahan lirih doa mengaliriku
Karnamulah aku mampu berdiri dan bisa menyaksikan isi kehidupan
Tabanyak yang bisa aku katakana tentangmu, karna akan semakin mempersempit nilai
Karna kutau semua apa yang kau berikan padaku lebih dari apapun sampai saat ini
Dan aku takkan mampu mempijakkan kaki kehidupan tanpa lantaran engkau
Malang 01-02-2008
Butir-butir kemangi
Embun pagi masih melekat pada tangkai kemangi
Burung-burung pada datang menyeka pagi
Kicaunya pada risau
Pada kuncup itu tengadah embun
Udara pagi yang dingin menghanyutkan para pejalan kaki
Selintas kukupu mencuri pandang
Dengan tarian-tariannya yang khas, “tak ada pencabulan dan persenggetaan”
Sanggup kita meniru keramahannya dan segala keunikannya
Sentuhan udara pagi bagai menyulam hidup ditegah kegersangan
Aroma itu sungguh menggagas kesamaan pada para lalu lalang adam
Tak ada konflik,
Malang 30-01-2008
Perjalan hidup
Apa yang bisa dikutip orang dari rangkaian cerita paginya
Segalanya hampa, tak ada ruas melepas asa jiwa
Sudut pagi pun enggan mengurai perjalanannya
Riak air mata di ujung sajadah tak mampu mengeja
Mungkin kita lupa pada awan yang bersolek
Dan kita pun sekan tutup mata pada keranjang Tani
Di helai keringat yang menguning
Tersirat doa
Sebentar disana ada kerumunan yang membius waktu
Jangan lupa bawa catatan itu tuk esok
Agar tak ada alas an lupa rangkaian peristiwa
Dan ingat air mata mereka bukan pemandian suci
Apa yang bisa kita petik dari pehon yang krontang
Hanya bisa menyisakan getir dan kengerian
Bukan-bukan gundukan emas yang di harap
Tapi keadilanlah dalam hidup
Malang 30-01-2008
Jangan ada senyum
Jangan ada senyum di bibir bisamu
Cukup laki menjadi lunglai olehmu
Masih ada banyak hal yang penting dari pada itu
Bukan kah engaku pun jenuh di atas keperihan hidup
Buang saja lipstik itu
Masih ada yang lebih bermakna
Sebenarnya apa yang kau sukai
Dari pada warna itu
Apa yang kau ingini
Jangan kau tebar aroma di ujung trotowar
Jalan masih bising degan mesin-mesin
Apa yang kau tarik dari keindahan tubuh
Dan palingan bibirmu
Malang 30-01-2008
Pengakuan
Yaaa …….Allah sungguh karnamulah aku ada disini. Da engakau ibu, aku banyak berdoasa padamu. Aku sesalu menyakiti perasaanmu, tapi engkau ttap tidak berubah.
Keakuan
Aku berfikir tentang aku
Dan keakuan itu terasa sulit untk kuterjemahkan
Hingga mata ini pun enggan meneggelamkan dalm felamboyan mimpi
Km sedang apa disana?
Aku disini bermuram durja dalam bayangmu.
Malang 15-10-2008
AKU MENCINTAIMU
Kesempurnaan adalah dambaan tiap manusia
Tapi keterbatasan terkadang tek ter elakkan
Diri pun terasa kerdil dalam mengartikan fluktuasi hidup
Bukan hidup yang kusesali tapi
Hidup yang tidak hidup
Malam-malam aku sendiri hanya
Dingin yang menekankan pada
Kegelapan
Tak ada angin
Tak ada apa pun
Aku tidak menyesal kete kamu
...... masih ingatkah kamu
Saat aku menyatakan cinta padamu
Sungguh aku teraliniasi dalam
Kepekatan rasa yang kau ramu dengan bercak
Bercak suara
Yaa suaramu yang khas telah merobohkan hatiku.
.......... aku mencintaimu
Malang 12-10-2008

MENCARI AKAR MASALAH, TUHAN PUN DIGUGAT

MENCARI AKAR MASALAH,
TUHAN PUN DIGUGAT
Oleh : MAHMUDI
Tuhan
Kata tuhan selalu idintik dengan kepercayaan pada agama. Dalam islam dikenal Tuhan Allah di mana eksistensinya sebagi pengatur atas segala yang Ia ciptakan. Tetapi keberadaan Tuhan tidak bisa disamakan dengan segala eksestensi yang Ia cip takan. Dia tidak bisa dilukiskan dan tidak bisa dibayangkan.
Dalam keristen, buda, hindu, dan katolik kepercayaan pada Tuhan tidak jauh berbeda, mereka para penganut Tuhan percaya akan eksistensi-Nya. Kepercayaan pada Tuhan dijalankan dengan keanekaragam ritualitas.
Para penganut Tuhan meyakini bahwa kekuasaan-Nya tidak dapat dinalar. Tak jarang banyak orang menerima dan meyakini-Nya tanpa prasyarat. Tuhan sebagai pencipta maka Ia patut dipatuhi. Memang cukup berasalan dan seyokyanya sebagai mahluk yang diciptakan-Nya untuk taat pada yang menciptakan.
Kepercayaan akan ada-Nya Tuhan “kekuatan diluar kuasa manusi” ada sejak awal dicip takan-Nya manusia. Adam adalah manusia pertama seperi yang diinformasikan kitab Alquran. Dari adamlah tumbuh suatu keyakinan “adanya eksistensi diluar manusia” pada Tuhan. Maka dari regenerasi lahirlah adam-adam yang lain, pada tatarannya memiliki satu kesamaan “menyakini akan adanya Tuhan”.
Kepercayaan yang diyakini manusia tidak lahir dengan cara spontanitas, semua kayakinan yang hadir dan tumbuh, (dibentuk) dikonruksi oleh sosial. Kontruksi sosialah yang menjadikan atau membimbing manusia. Ada sebuah pertanyaan, pernyaanku ini dirasakan oleh semua orang. Perlu dipertegas disini saya seorang yang beriman musulim “islam”. Pertanyaanya apakah kita akan akan beriman “islam” apapun, tapi orang tua kita tidak beriman. Jangan-jangan apa yang kita yakini selama ini hanyalah sebuah keyakinan “warisan”. Betulkah kiya benar-benar yakin dengan keyakinan yang kita jalani?.
Saya sendiri sempat merenungkan hal itu. Saya tidak mau orang mengatakan bahwa apa yang saya imani hanya sebuah “simbolisme” warisan dari orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanku. Sudahkan anda mempertanyakan keyakinan anda saat ini. Atau anda tidak pernah mempersoalkan apa yang anda yakini, karna anda berangaba keyakinan yang anda jalani adalah sebuah kebenaran yang mutlak.
Pernyaannya kebenaran seperti apa yang anda yakini saat ini ?.
Saya menjadi pesimis dak tidak percaya peda keyakinan yang anda anut selama ini, apakah anda menjamin menjadi seorang muslim jika ayah dan ibu anda kristen. Sebaliknya apakah anda akan menjadi kristen jika ibu dan ayah anda seorang penganut hindu dll.
Agama-Agama Ibrahum a.s
Saya salaut dengan Ibrahim dia adalah manusia yang berani. Berani menggugat keyakinannya sendiri, bahkan dalam sejarahnya banyak tuhan yang disembah oleh Ibrahim. Ibrahim adalah seorang revolosioner sejati dalam berkeyakinan (mencari Tuhan). Keberanianya patut ditiru oleh manusia sekarang agar tidak mudah mengklaim terhadap satu keyakinan yang lain. Ibrahim dengan keberaniannya, dia membunuh Tuhan-tuhan yang sebelumnya Ia yakini, sebelum pada akhir pencariannya Ia menemukan hakikat Tuhan yang sebenarnya.
Ibrahim sempat menyembah sapi, dia juaga sempat menyembah beberapa yang ada di planet ini, dia menyembah malam, siang, alam, Matahari, rembulan dll. Akan tetapi dari semua yang Ia yakini, seperti, sapi, alam, matahari, rembulan termentahkan karna Ia beranggapan semua itu tidak abadi. Sehingga pencariannya berakhir pada keyakinan tunggal “Allah”. Sebelum menemukan keyakinannya yang terakhir “Allah”, Ia melewati banyak proses, Ia tidak semerta-merta menerima terhadap keyakinannya sendiri. Apakah kita telah benar-benar menemukan keyakinan kita. Atau keyakinan kita cenderung dibentuk “dikontruksi” oleh sesaorang “ayah dan ibu” atau lingkungan.
Kita tidak perlu seperti Ibrahim, apa yang dilakukan oleh ibrahim adalah sebuah proses, pertanyaannya apakah kita telah melewati peroses itu. toh Ibrahim juga manusia seperti kita, Ia makan, minum seperti kita juga. Ia memiliki ibu dan ayah, kedua orang tuanya saat itu telah memiliki keyakinan “menyembah berhala/patung” tapi dia dengan keberaniannya tidak semerta-merta mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Dia berani mempertanyakan.
Saya kagum dengan keberanian Ibrahim. Saya kagum bukan lantaran dia sebagai Nabi yang dipilih oleh Allah. Akan tetapi saya merasa kagum pada peroses yang dia lakukan dan ia jalani. Lebih jauh dia berani menentang orang tuanya “mempertanyakan” di mana pada saat itu orang tuanya menganut agama hindu.
Selama ini kita dikungkung oleh fenatisme yang berlebihan. Dalam agama kita “islam” ketaatan kepeda orang tua dilegitimasi oleh Alquran dan hdits yang pada ujung-ujungnya berkutat pada surga dan neraka. “sesungguhnya surga itu ada di telapak kaki Ibu” dan “rida Allah berada pada keridaan kedua orang tua”. Legitimasi itu mencadi senjata paling ampuh yang dipegang orang tua. Dan lebih naifnya kita tidak mempunyai keberanian untuk mempertanyakan hal itu. kita hanya bisa pasrah dan menerima begitu saja, karna itu adalah seruan agama.
Sebegitu kuatnya legitimasi agama menelikung keranggka fikirkita. Bagaimana peristiwa yang terjadi pada Ibrahim. Ia tidak taat pada orang tuanya. Apakah kita lebih mulia dari Nabi ibrahim. Apakah agama akan menyalahkan terhadap peroses yang Ia lakukan.
Coba bayangkan jika saja ibrahim taat begitu saja pada keyakinan yang dianut kedua orang tuanya, apa yang akan terjadi?. Sekali lagi peroses itu amat penting. Keberanian mereupakan sebuah konsekweksi dan pilihan.
Mangaca pada Nabi Musa a.s
Nabi musa ia adalah manusia pilihan tuhan. Ada satu hal yang menarik dari perjalanan keimanannya pada Tuhan. Suatu hari dia mengajak ummat-nya untuk menyakini agama yang Ia yakini, yaitu agama tauhed, menyembah “Allah”. Akan tetapi ummatnya pada saat itu mempertanyakan eksistensi tuhan itu sendiri.
“sembahlah Allah yang menciptakanmu dan yang menguasai segala mahluknya” Nabi musa mengajak ummatnya
“kabar apa lagi yang kamu bawa Musa”
“aku tidak percaya dengan apa yang kamu akatakan” musa pada saat itu dihadapkan pada persoalan yaitu “dia sebagai pembawa agama baru” kemudian dari umnya ada yang bertabya balik.
“bisakah kamu meyakinkan kami, dengan tuhan yang kamu yakini saat ini” suaranya lantang.
Pertanyaan ummat Nabi Musa menggloyahkan keyakinannya. Sehingga dia pun bertanya balik pada tuhan.
“Tuhan jika memang engkau benar-benar ada maka perlihatkanlah wujudmu”
Kesimpulan terakhir dari kegusaran Nabi Musa, Ia tidak bisa melihat Tuhan. Dia pingsan saat tuhan akan memperlihatkan wujud-Nya. Dalam satu kisah tuhan memerintahkan musa untuk menatap gunung. Akan tetapi dia tidak mampu menapnya. Tanah yang Ia pijak tiba-tiba bergetar hebat, saat itulah dia pingsan.
“Keberanian” itulah nabi musa. Dia berani mengugat tuhan-Nya, lalu pada saat sekarang, kenapa kita tidak memiliki keberanian seper Musa dan Ibrahim. Apakah kerangka berfikir kita sekarang benar-benar telah mati.
Hidup ini bukan hanya sekedar surga dan neraka ada yang paling penting dari hal itu senmua. Apakah dibenarkan seseorang dengan memburu sorga melupakan terhadap lingkungan sosialnya.
Kegalauanku
Seiring pancaran sinar matahari di pagi hari kucoba mengaih kata yang berserakan di akar nurani. Ada rasa ragu, takut semua kehawatiran terus menghantuiku. Namun dengan segala payahku aku mencoba merangkai huruf-demi huruf menjadi kalimat, sehingga bisa menjadi media dan aspirasi hati.
Pagi itu aku termangu seorang diri. Anganku menarawang diantara langit-langt kamarku. Secercah sinar mentari menerobaos di celah-celah kamar. Aku mengernyitkan muka. Aku coba mempertanyakan diri sendiri, kenapa aku tidak bisa berujar tentang kenyataan yang sedangh aku alami. Aku bingung.
Waktu terus berjalan sementara pena yang ada di tangan akananku masih tertahan oleh galau hatiku. Beberapa kertas telah kutoreh namun tak ada setuktur kata yang bisa mengawal inginku. Semua terasa membeku. Aku hanya mengeliat pasrah dan tak berdaya.
Aku seperti kehingan pengangan, semua terasa mengambang. Seakan semua acuh padaku tak terkecuali tuhan. Lalu siapa lagi yang bisa mewadai keluh kesahku.
Hari ini aku betul-betul dalam kekalutan.
Apakah ini sudah menjadi takdir Tuhan !!. ah ……. Atau karna kecerobohan dan kekumalan akalku sehingga aku sendiri tak mampu membingkai nasip sendiri. Atau memang ini adalah menjadi takdirku. Lalu kana aka digariskan seperti ini. Bukankah tuhan maha pemurah dan pengasih pada ummtnya, tapi kenapa aku tidak merasakan hal itu. apa karna aku ……….!!!.
Katanya Tuhan maha pengisih. Dia sendiri menjajikan kebahagian pada setiap mahluk ciptaan-Nya tapi penderitaan demi penderitaan terus mengiri tiap langkahku. Apakah aku yang salah atau tuhan sendiri yang sengaja membiarkan semua ini. Bakan Tuhan yang mengatur semua yang ada di muka bumi. Berarti aku robot yang dikendalikan tuhan. Berarti tuhan sedang bermain-main dengan nnasip yang kujalani selama ini. Tuhan berikan jawaban atas kegalauwan ini.
Kata Tuhan maha pengasih terhadap ciptaan-Nya. Pengasih berarti dia tak akan membiarkan mahluknya berada dalam penderitaan. Tapi mengapa berbeda dengan apa yang aku alami. Aku kering dengan kasih sayang-Nya. Ada banyak alasan kana aka berkati seperti ini, karna aku merasa Tuhan tidak bisa memberikan aku kasih sayang dan kebahgiaan.
Sebenarnya bukan aku saja yang mengalami persoalan ini. Banyak orang di seantero bumi ini yang mengalami nasip seperti aku. Namun kebanyakan mereka pasrah terhadap takdir-Nya. Persoalannya bukan maslah takdiri atau bukan. Betulkah tuhan menjadikan kita robot, yang sengaja Ia ciptakan. Pertanyaan ini nanti akan kita temukan dalam kitap yang Tuhan ciptakan.
Tuhan tidak akan mengubah nasip suatu kaum, kecuali dia mengubahnya. Pertanyaan di atas telah terbantahkan oleh Tuhan. Akan tetapi yidak sebatas itu kita pasrah dan menisbatkan nasip karna kita tidak mempunyai kemaun “kemauan untuk lebih baik” namun sering kali kita pasrah, ini sudah menjadi takdiri-Nya.
Seorang pengemis dia dengan terpaksa mengadaikan harga dirinya, dan menadahkan tangan sekedar sekeping rupiah untuk menganjal pereutnya. Dia tidak akan pernah berfikir, dan mempertanyakanb keadaannya. Sehingga tak jarang tangan-tangan manusia yang bisa memberikan rupiah adalah penolong sejati “Tuhan”. Lantas jika Tuhan memang memilki kepedulian dan kasih sayang pada tiap makluknya, kenapa dia harus menghinakan ciptaannuya di hadapan ciptaan-Nya sendiri.
Perbedaan nasiplah yang menjadikan mereka dalam posisi seperti itu. akan tetapi lebih parah terkadang kita tidak pernah peduli pada keadaan mereka sehingga kita cenderung apatis terhadap keadaan yang dialami mereka.
Lebih parah ketika ketergantungan yang ada pada si pengemis menjadikan mereka “sebagai penentu”. Mereka tidak pernah berfikir akan adanya Tuhan diluar dirinya yang terpenting mereka bisa mekan dan memenuhi kewajiban memeberi makan pada anak-anaknya.