Sabtu, 23 Agustus 2008

KOMENTAR “ANALIS” TERHADAP BUKU



Perubahan Sosial Dalam Perspektif Al-Quran.

Isalan telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyarakat. Di dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu, antara indifidu dengan masyarajat, antara satu komonitas masyarakat dengan komnitas yang lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkelurga sampai bernegara1.

Isalam sebagai rahmatan lil-alamin telah memberikan mekanisme dalam semua lidi kehidupan. Setiap mekanisme tersebut semua mengacu pada landasan Al-Quran dan Al-hadits. Apa bila dalam kedua pedoman Al-quran dan Al-hadis tidak ada “tidak menemukan kejelasan” maka diambil dalam suatu musyawarah kemufakatan berupak ijma’ ulama’. Dalam ijmak ulama’ inilah landasan islam memperlihatkan bahwa isalam menjung-jung tinggi asas demokrasi.

Apa yang terdapat dalam buku ini merupakan sebuah apresiasi terhadap islam. Dimana setiap kajian sosiologisnya banyak mengacu pada landasan al-quran dan al-hadis. Dalam kajian buku ini banyak mengacu pada sjarah perkembangan ummat pada masa-masa sebelum Nabi Muhammad SW.

Dan pendekatan teori yang diambil tetap mengacu pada nilai-nilai islam. halaman 4-5. Dalam hal ini juga dibahas tata cara bersosial. Al-quran memberikan gambaran bahwa manusia diciptakan Tuhan tidak dalam arti sama dalam segala-galanya. Manusia diciptakan dengan jenis kelamin yang berbeda, tempat tinggal dan etnis yang berbeda. Adari adanya perbedaan ini meraka diperintahkan saling mengenal. Akan tetapi Tuhan pun memberikan peringatan bahwa yang terbaik adalah mereka yang mampu memelihara diri (bertaqwa)2.

Konsep al-quran tidak pernah terlepas dalam setiap sub bahasan dalam buku ini. Disini juga dibahas mengenai perbedaan paham yang unik yang bisa berjlan tanpa saling mencedrai satu sama lain, seperti dibahas dalam huku-hukum sosial kamasyarakatan. Sentilan sentilan ayat al-quran selalu mewarnai.

Sosiologi : Sebagai Ilmu Sosial

Ketika ilmu sosia dituntut untuk menjadi sebuah sains maka segala usaha ditujukan pada pencapaian derajat keilmiahan (scientific), seperti ilmu pengetahuan alam sehingga ilmu sosial mengikuti prosedur agar mendapatkan kerangka ilmiah. Namaun, persoalan mendasar yang menjadi ganjalan ialah manusia itu selain makhluk yang berkesadaran, juga hidup dan berkembang sehingga memahami manusi tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi harus memahami masyarakat dan kebudayaannya. Perbedaan kedua disiplin ilmu itu sangat signufikan, oleh karena itu generalization merupakn kesalahan besar (the big mistake) dalam ilmu sosial3.

Ketika kita membaca kutipan pada sampul buki ini, seperti tertulis sebelum ini terlihat bahwa sosiologi sebagi ilmu sosial memiliki ranah yang luas dan selalu berubah-ubah sesuai kondisi dan perkembagan. Memang dalam kontek sosial kemasyarakan tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan. Oleh sebab itu acuan dalam konteks ilmu sosial akan terus berkembang dinamis.

Dalam kajian sosiologi sebagai ilmu sosial dibedakan dalam beberapa sup, seperti adanya evolusionisme. Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada mencari perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masayarakat yang berbeda4. Pada intinya manusia akan mengalami semacam perubahan didasari atau tidak. Dan perubahan ini tidak lepas dari pengruh lingkungan dan kondisi imtek.

Interaksionisme pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu dan kelompok. Disini fenomen yang diperhatikan adalah bagaimana orang terlibat dalam sebuah masyarakat merasa perlu memberikan definisi suatu situasi.

Petikan tersebut mencerminkan bahwa penulis menekankan penting individu memiliki pemahan pada kondisi sosialnya. Jelas manusia mesti merasa bahwa diri dalah bagian dari segala aspek ini yang kemudian bisa menepatkan secara ideal dan arif agar tidak terjadi benturan.

BERSAMBUNG





1 H. Zulfi Mubarok, M.Ag. Sosiolagi Agama tafsir Fenomena Multi-Religius Kontemporer hal 3

2 Opcet hal 6

3 Opcet hal, sampul

4 Opcet hal 115

NARASI SEBUAH PUISI

Tgl 01-02-2008

Madura

Disina aku berdiri dengan segala kesederhanaan

Kopya dan baju takwa cirri khas-Nya

Pesantern pertahan budaya, asahan akhlak

Gotong royong cermin kepedulian-Nya

Abad milinium merubah wajahn Madura

Kini madura berduyun-yun dengan proyek

Pembangun katanya prospek

Pendidikan adalah pioner Madura

Tapi mengapa koropsi itu lahir dari para cendikia

Mereka menyerobot mengeksploitasi segalanya

Hedonisme bukan lagi hal yang tabu

Angka-angka disulap


Agama menjadi diskusi di berbagai seninar

Tapi ………………..

Aaa……..hhhhhhhhh !!!!!!!!!!!!! aku bosan

Kini wajah madura berubah


Dulu surau-surau mengalun ayat-ayat Alquran

Kini kubuk-gubuk merubah wujud

TV jadi orner disetiap sudut

Mengapa begitu cepat berubah


Ritual-ritual kono dianggap ketinggalan zaman

Narkoba extasi menjadi pilihan

Pamphlet-pamflet larangan tak digubris

Madura kini berubah


Mengapa amat jauh berubah, padahal dulu

Mereka taat patuh pada tokoh msarakat “pemerintah”

Tapi merika kini mencibir segala imbawannya

Apakah karna mereka prustasi pada janji-janji

Entahlah


Madura kini kau banyak berubah

Gedung-gedung mencakar, pabrik-pabrik berdiri megah

Investor berdatangan, sementara penduduk melata

Mereka tak punyak banyak pilihan

Apalagi sekedar menolak


Tasbih-tasbih berjatuhan

Sajadah berseliuran di rak-rak tak terpakai

Tuhan tidak membuat kaya “katanya”

Pekerjaan menjajikan masa depan, dari pada sujud

Ijasah

Selembar kertas adalah kehidupan, harganya pun mahal

Angka-ngaka menentukan nasip

Kuyup hujan memasuki perkantoran konon di tempat itu ada pekerjaan

Sikap bukan jaminan kekrabatan mungkin nilai lebih


Harga mahal untuk sebuah masa depan

Prestasi apa yang paling menggugah


ALQUR’AN DAN SEBUNGKUS NASI


Oleh : Mahmudi


“Ibadah yang paling utama dalah membaca Al-Quran” (Al-Hadis)


Hadits pendek itu cukup untuk menjadi reinterpretasi sekaligus sebagai legitimasi ke utamaan dalam mambaca Al-quran. Tetapi di era globasasi sekarang seberapa banyak oarang yang masih peduli pada Al-qurann “apalagi untuk membaca dan mengkajinya”, mereka lebih memilih media mutakhir yang secara gamblang memperlihatkan gejolak sosial dari pada melakukan tela’ah terhadap firman-Nya. Sekarang Al-Quran hanya menjadi hiasan di dinding-dinding kumuh.


Uin sebagai lembaga islam, dalam menjembatani kesenjangan mahasiswanya memberikan sebuah tawaran yang sangat ideal, berupa hataman Al-Quran. Hataman ini biasa dilaksanakan setiap akhir bulan sekali. Hari kamis malam jum’at.


Seperti biasa setiap sebulan sekali seluruh sivitas Uin melaksanakan khotmel Qur’an (hamatan). Biasanya hataman Qur’an dilakukan di SC (Sprot Center). Dan yang ikut dalam hataman ini tidak hanya dari kalangan santri / masiswa dan mahasiswi saja, tetapi juga para dosen.


Rutinitasa yang dilaksanakan setiap akhirbulan, yang biasa di SC dipindah di gedung Rektorat yang baru. Tentusaja suasana lain tidak seperti biasa. Banyak santri yang terlambat datang karna mereka mengira hataman dilaksanakan seperti biasa yaitu di SC. Setelah mereka mengetauhi hataman dilaksanan di SC, mereka pun berbalik menuju SC. Setelah mereka sampai di SC mereka bingung akan masuk dari mana, di dalam sudah penuh santri. Masuk dari pintu timur, dipenuhi oleh putri, kemudian panitia menyuruh untuk masuk dari pintu sebelah barat.


Setelah berputar sekitar lima menit, sampailah mereka di pintu sebelah barat. Akan tetapi mereka sukkan masuk karna di pintu masuk di dalam telah penuh dengan para Kia’i dan dosen. Akhirnya mereka tidak jadi masuk lawat pintu di sebelah barat, para santri hanya termangu berdiri di depan pintu, kemudian para panitia “musrif” mengalihkan, untuk masuk lewat pintu pertama di sebelah timur. Kembali mereka mengelilingi gedung rektorat.


Setelah tiba di pintu masuk sebelah timur para santri tidak langsung masuk. Mereka seperti grogi meliwati para putri. Namun setelah dipaksa oleh “musrif” akhirnya mereka berbondong-bondong masuk. Gedung Rektorat dilihat dari depan nampak penuh dengan para santri puti, sementara di dalam di samping selatan dipenuhi oleh santri pu


Gedung Rektorat yang masih kosong serentak dipenuhi oleh para santri yang membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Lantunan suci itu mengema memenuhi setiap sudut penjuru gedung.


Ketidak siapan panitia

Hataman yang dilaksanakan di gedung Rektorat yang baru tidak seperbiasa. Pada saat itu terlihat banyak dosen yang datang. Dan dari sisi pengemasan acara pun berbeda, ada beberapa sambutan seperti Sambutan Rektor Imam Suprayogo dan derektur Mahad. Dari beberapa sambutan yang disampaikan dapat ditarik kesimpulan bahwa “Uin tidak hanya mengema dalam tingkat lokal, nasional namun dikenal oleh Internasional” begitulah apa yang disampaikan oleh Rektor Uin Imam Suprayogo.


Akan tetapi apa yang disampaikan tidak dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa di bagian selatan, karna selain dibagian selatan banyak masiswa banyak yang ngobrol sendiri, sebagian dari nereka memang tidak peduli, bagi mereka yang penting datang “makan”. Lain dengan putri selain putri mudah diatur merekapun dapat mendengarkan dengan baik karna mereka langsung berdekatan dengan pengeras suara.


Memang suasana pada saat itu sangat tidak mendukung. Di dalam gedung terasa panas. Suara gaduh semakin


Mengharap “Nasi” Pahala

Dari sekian mahasiswa “santri” yang hadir tidak semua membaca AL-quran. Kebanyakan diantara mereka hanya sekedar datang untuk “makan nasi” main HP dan ngerumpi dengan teman di sampingnya. Kegiatan hataman yang diadakan setiap sebualan sekali dijadikan kesempatan oleh sebagian mahasiswa untuk mengurangi pengeluaran sakunya.


Satu kali gayuh dua tiga pulau terlampaui. Peribahasa tersebut kiranya sangat mewakili hajat dan hasrat para santri yang ikut Khotmil Quran. Selain mereka mendapat pahala dari apa yang mereka baca mereka juga bisa menghemat saku mereka dengan mendapat makan gratis.


Meski pun mereka yang hadir di tempat itu tidak semuanya mengaji setidaknya mereka telah mematuhi intruksi dari para morobi untuk menghadiri hataman. Bagi mereka mengaji tidak harus dengan melafalkan kalimat Alquran, tapi lebih dari itu. Dan mereka juga dapat pahala meski tidak membaca Alqurn, mendengarkan orang-orang ngaji itu juga kan pahala.


Terlapas santri yang datang “makan” betul-betul khusyuk mengaji dan mendengarkan setiap petuah yang disampaikan atau tidak semua itu harus dikembalikan pada pola sistem dan kesadaran dari individu itu sendiri.


Dibalik Hataman

Tanpa berburuk sangka pada kegiatan “hataman” yang secara rutin dilaksanakan setiap akhirbulan, setidaknya ada beberapa persoalan yang muncul, mengapa harus melakukan hataman. Apakah hal itu mereupakan pergerakan yang muncul atas dasar kesadaran atau malah sebaliknya ada suatu hal yang mereka para pengelola yang tau. Karana kalau kita lihat hataman yang dilakukan bukan tanpa biaya. Lantas pebdanaan itu dari mana ?. bagi para santri hal itu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi ketranparanan mungkin amat sangat dibutuhkan untuk memperjels sebuah fisi dan misi yang diusung.







HADIAH TAK PERNAH USAI

Kemerdekaan yang kita terima merupakan “warisan” krangka yang masih kusut dan penuh lipatan-lipatan kerakusan oleh penguasa. Memang secara fisiki kita tidak dijajah oleh bangsa asing. Akan tetapi kebijakan yang diterapkan cenderung megedepankan kepentingan para spikulan. Bukan hanya itu saja sikap para wakil-wakil rakyat yang masih rakus sehingga tidak lebihnya seperti penjajah yang menjajah bangsa sendiri.


Memang penjajah dinegri sendiri tidak berbenturan secara fisik. Bahkan lebih luwes mereka sejalan dengan segala program pemerintah. Bukan hanya itu saja mereka juga yang merancang perundang-undang. Maka tidak heran jika setiap perundangan-undangan yang dihasilkan lebih mengedepankan kepentingan kalangan”kelompok”.


Setelah mereka berhasil menguasi setiap rancangan peraturan-tidak puas hanya pada itu saja. Mereka melakukan pemgelapan “korupsi” dan perilaku yang semestinya terjadi.


Kemerdakaan yang kita rasakan masih terasa gamang. Rakyat sebagai pemegang tertinggi hanyalah simbolisasi saja. Peraktek kebijakan yang dijalankan tidak ada keperpihakan bagi kaum miskin.


Maka tidak heran jika kebanyakan masyarakat indonesia, terutapa yang hidup di daerah pengiran tidak memahami apa arti kemerdekaan. Dan kebanyakan diantara mereka tidak tau hari ulang tahun kemerdekaan itu. bagi mereka dari pada memperingati hari yang disakralkan lebih baik mencari sesuap nasi untuk dimakan dan menghidupi keluarga.


Seharusnya sebagai bangsa yang memiliki kemerdekaan masalah pendidkan betulbetul diperhatikan. Tapi nyatanya manat UUD (Undang-undang Dasar) APBN (Angran Pendapan Belanja Negara)sekurang-kurangnya 20 % untuk anggaran pendidikan masih jau dari kenyataan.


Banyaknya anak jalan yang menjadi peminta-minta “mengemis dinegri sendiri” seharusnya hal itu tidak terjadi. Kenapa negri yang hijau dan subur ini tidak bisa menghidupi rakyatnya sendiri. Hal ini merupakan kesalahan yang didalngi oleh peminpin yang hanya mementingkan perut sendiri.

Pembalakan liar. Korupsi. Penyelundupan hampir terjadi setiap hari. Sehingga seper seperyti syair lagu “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” pemerataan hidup terasa sulit diwujudkan di negri yang masih patriarki. Pemerataan hanya bisa dicapai dalam mimpi dan angan saja.


Lemahnya sistem peradilan menjadikan para tikus-tikus negara tidak jera dimanfaatkan oleh para koruptor. Setiap trindakan pengelapan uangnera tidak tanggung-tangung triliunan rupiah. Hukumannya hanya berapa bulan saja/tahun.

Sementara kasus pencuri ayam di kampung yang harganya 15 ribu dihukum berbulan bulan bahkan tahunan. Dan tidak jarang mereka disiksa. Sementara para korporat negara mereka berleha-legha dalam tahanan.


Keterpurukan bangsa ini karna perilaku peminpinnya yang tidak becus. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi/kelompok saja. Sementara amanah sebagai seorang peminpin sebuah jempolam saja. Sampai kapan bangsa ini terlepas dari kepiadapan para peminpin penguasa.


Kalau dulu malaysia banyak belajar dari indonesia. Sekarang sebaliknya. Kini indonesia jau tertinggal oleh Negri Jiran itu. kenapa bisa terjadi,


KETIKA PEMINPIN SALING MENGHUJAT


Ekplorasi

Pesta rakyat sebentar lagi aka

Pemilu 2009 sudah didepan mata. Pesta rakyat, dan sekaligus ajang politik yang akan menentukan nasib bangsa kedepan. Oleh sebab itu kita harus benar-benar selektif dalam memilih peminpin di masa depan. Keterpurukan yang melanda bangsa ini salah satunya karena ketidaksanggupan para elit dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Lemahnya penegakan hukum mejadi pemicu terjadinya penyimpangan yang justru banyak merugikan masyarakat. Kita butuh figur pemimpin yang berhati nurani, yang benar-benar memikirkan kepentingan rakyat.

Rakyat sekarang harus lebih dewasa dalam menentukan pilihanya. Jangan tergiur pada oase dan janji-janji semu. Dan harapan kita dalam pesta demokrasi nanti adalah terciptanya kondisi politik yang harmonis, dan membangun. Keterpurukan pemerintahan dimasa lalu hendaknya dijadikan pelajaran. Kegagalan-kegalan diberbagai komponen mestinya dicarikan solusi, bukan justru digembar gembor sehigga terkesan “sok paling benar”.

Akan tetapi di tahun 2007 kita dikejutkan dengan terjadinya dis control dari pemimpin (elit politik) kita yang saling serang. Sehingga mereka cenderung membenarkan diri sendiri. Mereka menganggab pemerintahan sekarang gagal, terlepas dari benar tidaknya ungkapan itu, akan tetapi kalau kita amati seakan terkesan naif. Kenapa mereka terkontaminasi pada persoalan, bukan mencari solusi malah mengkambinghitamkan orang lain.

Opini pun bermunculan mulai dari kalangan elit sampai masyarakat menengah kebawah. Diskusi bertajuk merefleksikan kebangsaan digelar diberbagai tempat. Banyak yang mengomentari “karna ketidak siapan para elit dan pemerintah dalam mengupayakan keadilan”. Kegagalan penegak hukum pun menjadi sorotan, lagi-lagi dilarikan pada aparatur. Dan aparatur sendiri melemparkan karena ketidak siapan konstitusi dan pemerintah untuk berbuat tegas. Mereka saling menyalahkan dalam lingkaran hitam.

Mereka pun “para politisi” berorasi saatnya kita mengadakan perubahan. Perkataan itu mungkin kerap kita dengar dari para elit yang mencalonkan diri menjadi bagian penting dinegri ini. Tapi kita pun seakan bosan mendengar janji-janji itu. Toh dari dulu tetap itu-itu saja mereka yang menggagas peruban. Dan ketika akhir pemerintahannya mereka pun yang mengatakan perkataan serupa. Pemain politik tetap tidak ada perubahan.

Gonjang Ganjing Pemerintahan

Kegagalan pemerintah dalam mereialisasikan janjinya, cermin dari tidak siapnya elemen bangsa dalam merubah kondisi secara total. Kemiskinan tumbuh seiring bangsa ini didera berbagai musibah, mulai banjir sunami sampai pada kerisis pangan, mahalnya kebutuhan pokok dan kerisis kemnusian. Penganguran terus menigkat lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat menampung para pekerja. Kebutuhan hidup terus meningkat biaya hidup semakin tinggi. Penuntasan korupsi dari tingkat atas sampai bawah masih terlihat tebang pilih.

Dibentuknya Konstusi Pengawas Keuangan (KPK) diharapkan menjadi suatu pencerahan agar bisa meminimalisir penyalah gunaan ke uangan negara. Pembentukan KPK pada awalnya merupakan langkah maju yang dicerminkan lembaga ini. Akan tetapi kepercayaan pada lembaga ini menjadi memudar ketika oknom didalamnya yang dulu bernergi untuk melawan koropsi malah sebaliknya menjadi pelaku korupsi.

Kegagalan para aparatur dalam menjalankan amat rakyat seharusnya menjadi cambuk. Bahwa mereka tidak memiliki kapasitas dalam menjalankan amanah. Kegagalan itu terjadi karna mereka masih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kemaslahatan rakyat. Rakyat hanya menjadi sapi perahan. Rakyat hanya menjadi tunggangan mereka dalam mencapai kekuasaan. Akan tetapi setelah mereka berkuasa mereka cendrung mengabaikan kometmen awal “untuk dan demi rakyat”.

Ketika Peminpin saling mencela.

Ketika kita mendengar kata peminpin, yang terlintas di benak kita “peminpin” adalah orang yang memiliki kapabiltas ke ilmuan yang signifikan tentunya sesuai dengan apa yang dia pinpin. Tetapi ketika peminpin itu saling mencungkir balikkan fakta “kelemahan” masing-masing, dan saling mencaci apa yang terjadi ? mungkin hal itu menjadi hal yang biasa di negera yang menganut demokrasi.

Lalu seperti apa kita meletakkan landasan demokrasi, ditengah kerissi kepercayaan pada pemerintah. Apakah dengan meluapkan kebencian, mengumpat mereka, lalu apa yang kita peroleh dari umpatan itu. Mungkin kita masih perlu berkaca pada politik amirika, dari Barack Obama (baca politik Obama).

Pemilu 2009 merupakan penentu nasib bangsa ke depan. Harapan kita sebagai masyarakat kecil amat sederhana, kesiapan para calon untuk melalukan perubahan, bukan hanya sekedar janji-janji. Penegakan hukum untuk tidak tebang pilih. Setabilitas ekonomi yang baik, tentu masih banyak harapan yang lain tidak perlu dipaparkan.

Para kandidat pun melakukan orasi (kampanye) untuk memperoleh prioritas poloitiknya, tidak dapat dielakkan lagi. Bahkan umpat mengumpat menjadi sebuah tradisi dalam meraih prestise. Akan tetapi hal ini akan menjadi berbeda ketikan umpat-mengumpat ini muncul dari mereka yang sama-sama pernah menjalankan roda penerintahan. Mantan Presiden Menga Wati, melontarkan penilaiannya kepada pemerintahan yang sedang berjalan. Menurut Mega “pemerintahan sekarang seperti poco-poco”. Maju selangkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah mundur dualangkah. Tak pernah beranjak diri tempatnya. (Kompas 02 Februari 2008)

Kritikan itu mendapat respon dari Wakil Peresiden Yusuf Kalla. “Penari poco-poco kan sehat. Gerakannya paling ritmis dan bersatu. Saya kira tarian poco-poco lebih baik dari pada dansa-densi senbari menjual gas alam murah”. Balasan kritikan dari kalla ditujukan pada kebijakan pemerintah Megawati dalam bidang energi. Megawati pernah dia jakberdansa oleh presiden China Zemin. (Kompas 02 Februari 2008)

Dalam kesempatan ualng tahun NU seperti dilansir Kompas 4 Februai 2008. Presiden Susilo bambang Yudhoyono menegaskan, keadaan nasional dalam 10 tahun terakhir sejak krisis ekonome semakin membaik kondisinya. Presiden minta kepada pengkritik pemerintah melihat segi keamanan, stabilitas politik, penegakan hukum, pemberantasan korups dan kerjasama dengan negara lain sebagai kemajuan. “Kalau kita jujur, obyektif, dan pandai bersyukur, sesungguhnya, dibandingkan keadaan nasional 10 tahun lalu dan tahun-tahun setelahnya, keadaan negara kita semakin membaik”,. (Kompas 4 Februai 2008 )

Entah sampaikanpan persettruan politik itu akan berahir. Mereka lebih suka menyalahkan dan saling mencari pembenara dari pada melihat realitas di lapangan. Rakyat sekarang tidak butuh sesumbar, tapi butuh bukti konkkrit. Gejala saling menyalahkan bukan suatu solusi terbaik bangsa ini. Kalu mereka (Peminpin) benar-benar mengtasnamakan rakyak sebaiknya duduk bersama mencari solusi terbaik. Bukan malah memperkeruh suasana.

Semakin menarik untuk kita cermati pola politik peminpin negri ini. Karna antara yang mengkriktik dan yang dikeritik merupkan pemain (pedalang) dari pemerintah. Perbednnya hanya terletak pada. Mantan dan satu sebagai pengendali kekuasaan. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa Mega Wati berani mengeluarkan kritikan. Apakah dia meresa lebih baik dari orang yang dikritik.

Pada masa pemerintahan sekarang memang terlihat kaku dalam menjalankan periotasnya yakni mensejahterkakan rakyat. Keterputrukan terjadi dimana-mana, kresis pangan kemiskinan dan kualtas SDM yang masih rendah. Pemerintah sendiri gagal menjalankan amanat ungdag-undang di bidang kependidikan, itu dapat kita lihat setiap tahunnya penganggguran terus bertambah, bekal pendidikan tidak menjamin kecerahan masadepan. Kegagalan itu merupakan suatu cermin yang amat disayang karana kita tau pendidikan menrupakan suatu factor yang sangat dan paling dominan dalam menegak supermasi hukum.

Entah apa yang dilontarkan oleh mantan presiden Menga merupakan berbau politik, atau tidak. Tetapi setidaknya hal itu menjadi tantangan tersendiri, bagi pemerintahan SBY-JK. Dan sekalgus PR bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa apa yang di nyatakan oleh Mega itu hanya bersifat politis.








WACANA KEAGAMAAN DI INDONESIA

Oleh : Mahmudi

“Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”.

(UUD 1945 Pasal 29 ayat 2)

Ternyata jaminan suatu undang-undang pada suatu keyakinan hanya menjadi pajangan teks. Hal itu bisa kita lihat betapa mudahnya masyarakat bangsa yang konon menjung tinggi HAM masih ada saja klaim-klaim agama sesat. Padahal Negara kita bukan paham agama melainkan sebuah konstitusi dan pancasila yang pro demokrasi. Tapi mengapa Kontrofirsi aliliran sesat dan menyesatkan sesalu ada dalam selih berganti waktu. Seakan mereka para penganut agama memperlihatkan kehawatiran yang berlebihan. Sehingga hakim massa menjadi hal yang biasa. Seakan mereka mengklaim merekakah yang paling benar. Lebih naïf lagi hal itu terjadi pada Islam. Ketika pertikaian dan kekerasan di lakukan oleh umat Islam menjadi sajian setiap hari di berbagi media. Fisi dan misi Islam segai Rahmatan Lil-alamin menjadi kabur. Yang nampak hanya sikap arongan.

Muncul Ahmad Mushadiq sebagai dalang dari penyelewengan “mengaku sebagai nabi/rasul” seakan hal itu bukan hal yang baru dalam Islam. Semenjak wafatnya Nabi Muhammad aliran “sesat” yang mengaku nabi itu sudah ada. Jadi bukan hanya Ahmad Mushaddeq yang mengklaim dirinya sebagai nabi.

Kembali pada kutipan UUD Pasal 29 ayat 2 di atas “Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya”, Maka kita tidak bisa melarang lahirnya sebuah kepercayaan. Karna negara kita pancasila bukan Negara Islam.

Dalam konsep Negara bangsa pemerintah harus melindungi seluruh umat beragama berdasarkan konstitusi. Perlindungan Negara diberikan berdasarkan status kewarganegaraannya, bukan dilihat berdasarkan agamanya. Dengan pendekatan kewarganegaraan, perlindungan dalam kebebasan beragama diberikan kepada masing-masing individu warga negar, bukan atas dasar kelompok agamanya. Karna setiap orang di Indonesia diakui Negara tidak berdasarkan agamnya, tetapi sebagai warga Negara yang hak dan kewajibanya sama di mata Negara. Oleh karna itu mereka jaga punyak hak untuk hidup berdampingan dengan yang lain.

Negara wajib menjamin seluruh kelompok aliran keagamaan yang ada dengan adil. Kelompok keagamaan minoritas juga berhak dilindungi dari segala tindak kekerasan fisik dan harta benda. (Masdar f Mas’udi Derektur perhimpunan pengembangan pesantern dan masyarakat. Kompas 9 November 2007).

Pasal 29 ayat 2 menjadi legilitasi kuat terhadap tumbuhnya keanekaragaman “agama” di Indonesia. Klaim sesat pada suat kepercayaan seharusnya tidak terjadi. Aliran menyimpang sebaiknya tidak boleh dilihat dalam kontek agama. Namun dilihat dalam kontek sosil dimana agama telah kehilangan perannya sehingga orang membutuhkan “tempat baru” untuk berekpresi.

Oleh sebab itu perlo adanya sikap legowo untuk menerima satu sama lain. Belum adanya sikap legowo para pemeluk agama untuk hidup berdam pingan dan menerima satu sama lain. Pertikaian agaman yang mengarah pada pada konflik sering disebabkan ketidak sanggupan agama menerima keragaman sebagai “kenyataan”.

Munculnya semangat keberagamaan yang diringi dengan kebencian terhadap pihak yang tidak sepaham dapat dinetralisasi dengan pemahaman ilmu keagamaan yang lebih mendalam dan luas. Banyak ajaran yang menawarkan kelembutan dan kedamaian. (KH. Mustafa Bisri. Kompas 3 januari 2008).

Menurut mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahed, seperti yang dilansir kompas 3 januari 2008, mengatakan, beragamnya agama dan keyakinan sudah terjadi sejak dulu. Sebagian pihak melihat Islam sebagai sebuah keyakinan tunggal tanpa dipengaruhi situasi yang berkembang. Padahal, sejarah sejarah Islam mencatat ajaran Islam diturunkan berdasarkan berbagai kondisi yang mempengaruhinya, mulai saat Isalam menjadi agama yang asing hingga Islam berkembang menjdi sebuah peradaban. Munculnya faham keagamaan yang keras terjadi karna islam hanya dilihat dari kca mata dalil yang keras. Kondisi ini melahirkan sikap mudahnya memberikan tuduhan sesat dan kafir, bahka kepada sesame Muslim sendiri.

Adapun klaim sesat pada jamaah Ahmadiyah perlu ditelaa kembali, seperti pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdatuh Ulama Saidc aqil Siradj, menegaskan pernyataan sikap Jemaah Ahmadiyah di Indonesia (JAI) merupakan kelompok Ahmadiyah Lahore yang diakui dunia Islam , JAI berhak hidup dan berkembang di Indonesia, sama dengan aliran-aliran Isalm lainnya.

Kelompok Ahmadiyah terbagi dalam dua golonga, yaitu Ahmadiyah Qodiyan dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodiyan yang berpusat di India mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagi nabi dan kitab Tadzkirah menjadi kitab suci. Di Indonesia, kelompok ini sebelummnya dieprensatasikan oleh JAI. Adapun Ahmadiyah Lahore, berpusat di Pakistan, pada awalnya memang tdak menimbulkan masalah. Kelompok Ahmadiyah ini hanya mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagi guru atau mursyid dan pembawa kabar gembira semata. Sedang tadzkirah hanya menjadi buku catatan sejarah Mirza Gulam Ahmad. Golongan ini di Indonesia direprensentsikan oleh gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Pengikut Ahmadiyah Indonesia sebagian besar kelmpok Ahmadiyah Qodiyan. JAI sekarang termasuk dalam kelompok Ahmadiyah Lahore. Kelompok Ahmadiyah Lahore ini diakui oleh negara-negar Islam lainnya. Anggota mereka juga diperbolehkan melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, sam seperti aliran Isalam lainya.

Karna itu perlu adanya penanaman pemahaman kemajemukan agama. Seperti yang ditawarkan Benyamen Fintan (Kompas 18 Oktober 2007) pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekedar “kenyataan” melainkan menjadi “keharusan” (what ought) yang tidak dapat dihilangkan. Pada relitas ini muncul usaha saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran interdepedensi. Pada kondisi ini agama didorong memberi kontri busi karena interdepedensi agama mensyaratkan ketidak aktifan satu agama akan berpengaruh kepada hasil genuine civil consensus yang mau dicapai. Jika kesadaran interdepedensi agama trus tumbuh, partisipasi agama –agama dapat dimaksimalkan.

Perlunya kebersamaan yang akan memberikan suatu solusi dan menjunjung prinsip take and give. Dialog yang baik akan menghasilkan perubahan kedua belah pihak. Sah-sah saja jika tiap agama mengklaim kebenaran yang dimiliki sebgai kebenaran universal, yang seharusnya diterima sebagai agama berbeda.

Namun, paradigma universalitas tidak sebatas kemampuan untuk berkontri busi, tetapi juga pada keterbukaannya untuk menerima. Pada kondisi ini, sumbangsih agama diterima positif paling tidak sebagai otokritk bagi agama lain. Keragaman agama bukan sekedar “keharusan” tetapi keharusan yang membawa manfaat”.

Agama mengharuskan kebebasan beragama bukan sebatas negative immunity, bahwa agama harus bebas dari cengjraman sosila plotik termasuk Negara, tetapi juga dalam pengertian positive immunity dengan agama distimulasi menjalankan perannyatanya dalam kehidupan social-politik bangsa. Namuntanpa ruang pablik yang sehat dengan elemen-elemen public partipation, plurality, persuasion, dan commonality, peran nyata agama mustahil diwujudkan. Melalui elemen-elemen pablik in, agama-agama niscaya dapat menyatakan keyakinannya dengan jujur dan terbuka mencari kesepakatan yang bersandar kapada kometmen yang tulus dan saling percaya. Tampa elemen-elemen itu, peran public agama menjadi kerdil dan kontra produktif.

Wallahu A’lam bishowef


JALAN-JALAN DI KOTA MALANG I

Minggu (2-03-2008) pagi masih berselimut mendung. Uadara dingin mendirikan bulu kulit. Aku dikejutkan degan bunyi Hemphon (HP) “Nininit… Nininit ….. Nininit 3x”, aku tidak begitu mempedulikannya. “siapa pagi-pagi begini miscol”, seruku agak malas karna aku dalam keadaan antara sadar dan tidak sadak sadar tidur. Dengan rasa malas aku cari sumber bunyi HP ku. Beberapa saat aku sudah pegang HP ku. Kebetulan HP ku aku taruh di pinggir lesehan keranjang tidur sebelah kiri. Setelah aku buka R. Junika “oh Tuha……an, hari ini kan mau jalan”, Aku baru ingat bahwa kemarin ada kesepakan semua kru UAPM Inovasi unuk jalan-jalan di Malang. Kesepakatanya kemarin jam 05.30 berkumpul di BTN di depan Uin.

“Sin bangun, dasar si dodol tidur terus, ni udah dimiscol sama Junik”, Junika adalah kordinator untuk memandu anak-anak. Dia juga yang menetapkan waktu 05.30 harus kumpul di BC. Dan usulan dia pun disetujui oleh selur yang meng hadiri rapat pada waktu itu.

Aku coba terus membangunkan si Muhlasin. Aku pangil dan setengah teriak tetapi tetap saja si muhlasin tidak bangun-bangun juga. Muhlasin tetap tiarap tidur. Aku tarik kakinya “bangun dodol sudah hamper jam enam (6)”, kemudiam dia baru bangun, dia telungkup kemudian tidur lagi. Sudah kebiasaan tidur pagi

“Woi !!! udah siang dodol”,

“Jamberapa siah”, muhlasin menayakan waktu suara masih rada-rada serat.

“Jam 6”, tegasku.

“Aku mandi dulu, ini kepagian”, muhlasin perlahan bangundari tempat tidur, dengan langkah lemas dia berjalan, sesaat tangannya mengambil gayung di atas lemari, kemudian dia menyelinap menghing di balik pintu menuju ke kamar andi. Hp ku bunyi lagi. Aku raih dari samping kerangjang, kemudian aku tulis SMS “Tunggu dulu sebentar ni baru bangun tidur, mau mandi dulu”, setelah SMS lalu aku bergegas menuju kamar mandi. Muhlasin sudah selesai mandi.

“Dimana anak kumpu?”,

“Di BC”, kataku.

“BC itu dimana ? di pangung itu ta”, Muhlasin menanyakan dimana anak kumpul.

“Dasar dodol, BC itu di BTN do……….ool”, seru aku sambil ketawa, masa dak tau BC.

“aku berangkat duluan akan kubilang kumu belum bangun sama junik”, muhlasin terkikik sambil berjalan memegang tas yang terlihan budek alias kotor, ya… karna dak perna dicuci, kalau dihinggapi lalat mungkin akan mati keracunan.

Setelah si muhlasin berangkat, kini di kamar Cuma tinggal aku dan kedua temanku Naseh dan Oxi. Oxi masih tidur di atas kerangjang, aku coba membangukannya beberapa kali tapi tetap saja, Cuma sesaat menguap lalu tidur lagi. Ya mungkin dia payah setelah hamper semalan suntuk main Game.


Oxi masuk kamar kira-kira jam 02.30 pagi. Sebul tidur si Oxi sempat ngerjain teman-temanya. Dia miscol teman-teman ceweknya. “Gus kan bangunin orang dapat pahala juga”, tutur oxi sambil tertawa kecil.

Ya mungkin saja”, aku jawab dengan nada cuek. dia terus ngejain teman-temannya, sesekali dia bicara sendiri. “ayo bangun dulu”, seru Oxi dia ngomong sendiri. Aku Cuma memperhatikan tingkah lakunya. Waktu pada saat itu udah menunjukkan jam 03.00. pagi aku tutup baku yang aku baca. Kemudian bergegas untuk solat tahajjud. Ya aku coba untuk mendekankan diri pada sang pencipta dengan cara solat malat Insaya Allah Tuhanakan memberikan solusi pada persoalan yang kuhadapi.


Naseh terlihat sedang memainkan HP nya. Dia duduk sambil menyilapkan kakinya. “Kamu dak ikut jalan-jalan”, tegur aku pada naseh yang sedang mengkotak atik HP nya. Kemudian sesaat dia menggelita kemudian “Aku dak bias ikut karma sekarang ada ujian Java, dua kelas sekaligus sekarang”,

“ya gak apa-apa”, lanjut aku.

Aku kemudian kebelakang ke kamarmandi. Waktu sudah menunjukkan 05.55. pagi.

Setelah selesai mandi aku mempersiapkan segala kebutuhan, buku catatan, bulpen, dan dua buku bacaan. Untuk meyakinkan sudah dak ada yang ketinggalan, aku periksa tas yang akan kubawa. Kemudian aku segera berangkan dengan berlari-lari kecil, menuru tangga. “Kok terburu-buru” salah seorang santri menyapaku, aku tidak begitu jelas siapa yang menyapaku “ya ni ada kepentingan dikit” aku jawab dengan singkat.

Setelah berjalan bebera jurus kemudian aku bertemu dengan si Muhlasin, dia berjalan dari arah utara sedang bercanda dengan teman-teman. “Hei dodol dari mana, tak kirain udah ada disana?”, aku sapa si Muhlasin.

“Aku dari teman, ayo cepetan”, ujar muhlasin sambil guyu dan menarik tanganku.

Kami pun berjalan dengan agak di percapat sedikit. Saat berpapasan dengan dua gadis “hai selamat magi”, agu menyapa dan teman si muhlasin guyu saja, sebenarnya aku menyapa gadis itu hany sekedar menghidupkan suasana, karma aku amat malas sebenarnya melakukan perjalanan ini, tetapi sebagai tanggung jawabku di keradaksian aku menjalaninya. Bukan berarti aku merasa tertekan atau keberatan dengan kegiatan yang baru di rintis ini, tidak. Justru menurut aku, ini merupakan suatu langkah baru untuk semakani mempererat ka akrapan diantara anggota. Dan menurut hemat aku ini merupakan suatu upaya bagi diri kusendiri untuk lebih mengenal malang dan bagai mana cara melihat rialitas.

Tiba muhlasin memecah suasana, “Di, itu bapakmu”, temanku yang aku yang aneh tiba-tiba ngomel, dan lebih lucunya meneurut aku, dia menunjuk seorang laki-laki yang lewat paru baya sedang membersihkan halaman rumahnya, menurut dia itu ayah aku, dasar teman yang aneh. “sin kamu ada-ada saja”, tegasku

“Tapi gak apa-apa sih dia jadi ayahku, dia itu Doktor Uin kaprok!!!”, tambahku. Memang laki-laki yang menyapu di halaman rumah itu merupakan salah satu doktoe Uin. Aku dak begitu ingat siapa namanya. Tapi yang masih ku ingat dia itu salah satu Dosen Tarbiyah, aku ingat ketika dia memberkan sambutan saat di SC dalam memberikan wawasan ke fakultasan.

Kiatapun terus berjalan, hilir mudik pejalan kaki saling berlawanan arah, sesekali kendaraan Motor melintas di samping kiri kita. Beberapa langkah kaki lagi aku akan lewat di depan rumahnya. Kira-kara dua meter dari jarak bapak yang sedang menyapu, pandangan aku tersita oleh pancara marahari pagi. Sungguh pagi yang indah sinar matahari yang menguak celah-celah awan seakan memberikan isyarat pagi akau. “Sinar Surya yang indah penoh rona”, Tiba-tiba kata-kata itu terlontar dengan sepontanitas. Bapak yang menyapu di halaman, menurut aku sih bukan halan tapi di depan pagarnya rumahnya tersenyum menatap aku dan kedua temanku. Mungkin dia mendengar ucapanku tadi, dengan ekpresi aku. Aku hanya membalas senyuman itu, sambil merundukkan badan sebai penghormatan.

“Sin aku kesini”, aku seraya berbelok keselatan pas di samping rumah bapak yang menyapu. “Kemana disana ditutup”, temanku seraya mereunduk melihat keselatan melihat jalan pintas di samping Masjid Tarbiah.

“Ya udah aku ada perlu”, aku tidak mengindahkan imbuhan teman aku tadi, tapi si Muhlasintetap mengikuti aku. Sebenarnya aku tidak hendak lewat jalan lintas. Aku hanya ingin solat dulu di Masjid. Ya…. Aku hanya ingin solat dtuha. Sinar mata hari itu seakan menyuruhku untuk solat dulu. Sebenarnya semenjak aku meninggalkan Ma’had perasaan aku was-was, mungkin nanti aku bisa menghilang atau pisah dari kelompok untuk mencari Masjid terdekat sebentar untuk solat. Sungguh Allah seakan membukakan jalan degan memperlihatkan sinar matahari, sinar itu menjadi petunjuk, bahwa waktu dtuha sudak masuk. Karna sinarmata hari itu sudah lewat satu tombak. Jadi aku sempatkan dulu kemasjid Tarbiayah untuk solat. Saat jalan-jalan aku tidak harus repot-repot mencari masjid sekedar solat.

Setelah aku sampai di serambi masjid kemudian aku melepas sepatu, dan kaos kakiku. “Anjing…..”, teman aku mengumpat.

“Aku solat dulu”, tegas aku pada temanku, kemudian dia balik dan meninggalkan aku.

“Bilang sama yang lain tunggu aku sebentar”, teriak aku pada Muhlasin yang terus berjalan meninggalkan jauh Masjid.

Saat aku di Masjid aku melihat satu orang di dalam sedang memegang sebuah kitab Al-quran yang berukuran kecil, melutnya terlihat bergerak-gerak membaca teks-teks suci. Dan dari lantai atas terdengar sebuah diskusi, apa yang didiskusikan aku sendiri tidak tau, mungkin cara rutinan. Aku tidak menghiraukan aktifitas yang ada di Masjid, Kemudian aku segera solat.

Usai solat seperti biasa memanjatkan Doa supaya Allah memudahkan dalam segala urusan. Setelah itu aku segera meninggalkan Masjid. Aku berjalan dengan setengah tergesa-gesa, karma aku tidak ingin teman-teman yang lain bosan menunggu aku. Situasi jalana tidak begitu ramai seperti saat Mahasiswa balik dari PKPBA (Program Kegiatan Pengembangan Bahasa Arab) atau pulangnya. Hanya terlihat beberapa orang yang sedang jalan-jalan santai. Beberapa langkah dari pintu gerbang, sebuah taksi melambai-lambaikan tangan sambil mulutnya bergerak-gerak memanggilku, aku hanya melambaokan tangan sebagai tanda (tidak butuh /naik taksi itu). Kemudian taksi itu pun melaju, lalulintas kendaraan di depan pintu gerbang Gajayana menuju Ma’had terlihat ramai. Aku terus berjalan nampak terlihat dari kejauhan teman-teman sudah kumpul menunggu aku. Sekitar tiga menit akupun sudah bergabung dengan mereka.

Kemudian salah satu di antara sembilan teman-teman itu kemudian memberhentikan Taksi AL. “Mas Roli dak ikut ta”, Tanya aku pada teman-teman.

“Dia dak bisa ikut karma sibuk”, sambung bak Lilik yang sedang mengendong tas kamera. Bak Lilik memang sangat dekat dengan mas Roli. Dengar-dengar sih dia akan segera menikah, ya mungkin Cuma nunggu usai sekripsinya.

“Yang lain mana di”, Tanya bak Lilik padaku.

“Dak tau jug saya udah SMS si Adil”, Ya… semalam aku sempat ngasi tau sama Adil bahwa UKM INOVASI ada acara jalan-jalan sambil hanting foto. Memang seharusnya kalau hadir semua, teman seangkatanku saja 20 orang, tapi yang aktif hadir ke UKM Cuma yang itu-itu saja. Yang hadir ikut dalam acara jalan-jalan teman-teman seangkatanku, MU (Maria Ulfa), Fitri, Yesi, Muhlasin, dan aku sendiri, yang lainnya adalah anggota senior, Junika, Lilik, As’ad, dan A’yun. Yang ikut dalam acara jalan-jalan itu sebanyak sembilan (9) orang.

Aku termangu sebentar melihat teman-teman yang saling bergurau satu sama lain. Aku jadi teringat suatu “angka” 9 (sembilan)”, angka ini konon adalah angka yang paling tinggi, dan konon memeliki filosofi tersendiri, sayang aku tidak tau. Walau aku sendiri tidak begitu percaya pada hal-hal seperti itu, aku jadi ingat perjuangan wali songo dalam menyiarkan agama. Disebut wali songo karma jumlahnya sembilan (9) orang. Tapi bukan berarti aku menyimbolkan kesembilan orang “teman-teman”, adalah wali, lagian kedelapan teman-teman dan sembilan dengan aku, itu kan campuaran, antara cowok dan cewek, sementara wali-wali itu identik denga laki.

Terlapas dari kepercayaan pada angka-angka itu. Yang jelas aku memiliki satu harapan yag amat besar, seperti yang pernah aku sampaikan kepada teman-teman waktu mengadakan rapat rencana jalan-jalan.

Jam menunjukkan pukul 06.00 semua cru telah berkumpul di depan BTN Uin Malang. Setelah itu salah satu dari kami memberhentikan angkot. Hilir mudik kendaran seakan tidak putus-putus, kendaraan terus dari arah yang berlawanan