Minggu, 21 September 2008

MEDIA UIN I-BLOGGER.IMUT: KEMANA KAMI HARUS MENGADU

MEDIA UIN I-BLOGGER.IMUT: KEMANA KAMI HARUS MENGADU

MEDIA UIN I-BLOGGER.IMUT: ALOKASI DANA PRAKTIKUM DARI MAHASISWA UNTUK SIAPA !!!!!!!!

MEDIA UIN I-BLOGGER.IMUT: ALOKASI DANA PRAKTIKUM DARI MAHASISWA UNTUK SIAPA !!!!!!!!

MEDIA UIN I-BLOGGER.IMUT: KOMENTAR “ANALIS” TERHADAP BUKU

MEDIA UIN I-BLOGGER.IMUT: KOMENTAR “ANALIS” TERHADAP BUKU

KEMANA KAMI HARUS MENGADU

Oleh: Mahmudi
Olah : Paramaan-gpr@yahoo.co.id
Dalam sejarah pengenalan terhadap lembaga mulai tingkat SMP-PT (Perguruan Tingggi) selalu diwarnai perlakuan tidak menyenangkan dari senior kepada Unior. Berubahnya OSPEK (Orentasi Pengenalan Kampus) menjadi OPAK seperti yang diamanatkan UUD Derjen Mentri Agama RRI Nomor : Dj.I/255/2007 mengamanatkan bahwa kegiatan opak lebih mengarah pada Akademik. Numun perubahan itu tidak hanya berupa bentuk dan tulisannya saja kenyataan di lapangan sama saja.
Kegiatan OPAK (Orentasi Pengenalan Akademik) merupakan upaya pengenalan lebih dekat mengenai sistem dan tredisi dalam kegiatan kampus “akademik” kepada MABA (Mahasiswa/i Baru), maka selayaknyalah di dalam kegiatan OPAK untuk mengedepankan sistem kedisiplinan yang tinggi kepada mahasiswa baru khususnya.
Akan tetapi realitas yang ada di lapangan kegiatan OPAK sering mengarah pada perlakuan fisik berupa kekerasan. Jelas dalam kegiatan OPAK sendiri telah diatur dengan jelas bahkan dilindungi oleh UUD sendiri. Dalam surat keputusan Derjen Mentri Agama telah dijelaskan bahwa kegiatan OPAK adalah suatu kegiatan yang mengutamakan pada pengenalan akademik. Jadi ketika terjadi perlakuan fisik hal itu telah keluar dari apa yang diamanatkan oleh UUD tersebut.
Dalam kegiatan OPAK ada tim yang memiliki peran yang sangat urgen seperti tim Pendamping, DISMA (Displin Mahasiswa/i) Advokasi, Pengugasan, itulah tim yang paling memiliki peran penting di lapangan dan memiliki kedekatan terhadap mahasiswa. Namun yang paling menonjol dan ditakuti oleh mahasiswa adalah Tim DISMA, dimana tim ini merupakan penegak disiplin/ untuk mendisiplinkan mahasiswa. Namun yang menjadikan mahasiswa takut adalah sikap disma yang sering kali ofer ekting, bahkan tak jarang terjadi perlakuan yang tidak mengenakan, seperti pemukulan, hal inilah yang amat disayangkan. Padalah secara akademik kekerasan fisik bukan bagian dari tujuan Opak itu sendiri.
Lantas kenapa kekerasan di lapangan sering terjadi ? hal ini tidak lepas dari lemahnya pemahaman dari tim itu sendiri/mereka kurang bisa memahami tema atau amanah dari OPAK kali ini. Atau mereka tidak memiliki gagasan lain selain kekerasan, hal ini amat naif. Semestinya ada cara yang lebih relefan mengenai sangsi tentunya harus disesuaikan dengan pelanggaran itu sendiri. Mahasiswa baru dalam hal ini bukan objek yang harus menjadi sasaran kemarahan dari DISMA.
Mahasiswa/i baru juga dituntut aktif untuk selalu bertanya dan mengetahui bahkan paham terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Jika memang dia merasa diperlakukann tidak adil maka mereka harus membela diri, dalam hal ini mahasiswa memilik saebuah pengayom atau disebut dengan Tim Advokasi. Tim Advokasi ini adalah sebuah tim dimana bertangungjawab dan membela hak-hak mahasiwa dan harus membela kepentingan mahasiswa/i itu sendiri. Namun banyak mahasiswa yang tidak tau terhahadap tim Advokasi, sehingga mereka cenderung pasrah dan menerima setiap perlakuan Disma.
Perlawanan yang dilakukan oleh maba Rabu 27/08, saat apel pagi merupakan bentuk kongkrit kurang pahamnya MABA terhadap peraturan dan tata cara bagimana seharusnya mereka menyalurkan keluhan dan unek-uneknya terhadap panitia.
Saat ada Mahasiswa Baru curhat pada tim disma suatu hal yang lucu. Disini letak ketimpangan, dan dis fungsi jobdiscreption. Anehnya dari tim advokasi kurang memberikan arahan kepada mahasiswa bagaimana seharusnya dan pada siapa mereka mengadu sehingga lagi-lagi MABA yang dirugikan.
Singkatan2 yang perlu diingat peserta.
OPAK : Orientasi Pengenalan Akademik tok.
OPAK : Orientasi Perpeloncoan Anak Kampus.
OPAK : Orientasi Pengkaderan Aktifis Kampungan
OPAK : Orang Pemberani Akan Kena Musibah
OPAK : Orang Penakut Akan Kena musibah juga, cape deh..!
DISMA : Dinas Mahkamah Agung
DISMA : Disiplin Itu Sebuah Malapetaka
DISMA : Disma Juga Manusia. Betul….!
MAGBALONG : Mikir Aja ngak Boleh Apalagi Ngomong. (Kalo Nulis Boleh Kaannn……?)

IMAJiNASI “IMAJINATIF” WUJUD PENGETAHUAN

“Oleh : Mahmudi
Ketika saya menulis bahan ini, penulis teringat pada wejangan guru MAN Sumenep Ibnu Hajar, Mpdi. Guru saya berkata seperti ini “kalau bercita-cita “imajinasi” jangan setengah-setengah, bercita-citah setinggi langit, biar kalau jatuh tersangkut pada ranting-ranting yang lain”.
Walau perkataan itu disampaikan dengan setengah bercanda, setelah saya cermati ada benarnya, bawha cita-cita itu sangat penting dan bisa memacu semangat seseorang.
Albert Einstein berpendapat bahwa "imajinasi lebih penting daripada pengetahuan", Perlu ditanamkan bahwa kekayaan berada dalam kekuatan otak, bukan terletak pada kemampuan otot.Dari kutipan tersebut dapat kita mengatakan bahwa tumbuh berkembangnya ilmupengatahuan melalui proses “imajinasi” nalar yang konstruktif. Sebab
sebuah imajinasi dapat membangun sebuah pengetahuan yang baru. Sebelum kita melangkah pada pembahasan yang lebih urgen, alngkah baiknya kita mengatahui apa itu imajinasi, Imajinasi : Adalah gambaran angan, daya membayangkan; kahayalan. Berangkat dari definisi tersebut dapat kita menarik benang merah bahwa imajinasi merupakan sebuah kerangka fikir Alfikr yang memiliki sebuah tujuan, dimana lahirnya tujuan itu terbentuk dari sebuah kayalan. “kemudian hayalan itu diwujudkan dalam sebuah instrumen yang konkrit dan ilmiah”.
Islam sebagai agama Rahamatallil-alamin mengamanatkan bagi seluruh ummatnya untuk mampu menangkap “berimajinasi” dari setiap yang kita temui. Landasan itu bisa kita ambil dari di turunkannya ayat alquran pertama Al-alaq “iqro” bacalah. Di mana kalau kita telaah lebih dalam dari konteks ayat tersebut bahwa tuhan lewat wahyu yang disampaikan kepada Muhammad Sw. secara tidak langsung merupakan tantangan kepada kita, untuk selalu gelisah terhadap fenomena yang ada di sekitar kita. Kita dituntut untuk memiliki kemampuan menangkap setiap apa yang kita temui. Tentunya pembacaan “imajinasi” itu akan membawa kita “ummat” pada sebuah penemuan-penemuan baru.
Akan tetapi tidak semua imajinasi fositif, ada juga imajinasi yang negatif. Contoh sederhana dari imajenasi negatif “berhayal memiliki istri teman/tetangga” dll. Akan tetapi dalam pembahasan ini akan diprioritaskan pada sebuah pembangunan imajinasi yang positif.
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti kemajuan teknologi tidak lepas dari kegelisahan “imajinasi” individu yang diwujudkan dalam krangka ilmiah. Semisal
perkembangan dan penemuan-penemuan dalam kependidikan terutama cara mengajar. Awalnya pendidikan (pengajar) dikembangkan dengan metode ceramah, kemudian berubah KBK (kurikulum berbasis kopetensi) KTSP (kurikulun tingkat satuan pendidikan). Semua metode tersebut merupakan bentuk konkrit dari kemampuan seseorang dalam berimajenasi.
Akan tetapi sebuah imajinasi akan menjadi kerangka yang kering apabila tidak ada tindak lanjut. Oleh sebab itu, apa yang kita bangun lewat imajenasi tersebut harus direalisasikan “praktek”.
Sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955). “Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Dari kita berfikir “imajenasi” maka lahirlah sebuah teori, kemuadian dari teori tersebut kita peraktekkan. Kata yang digaris bawahi kalau kita analis mendalam, “bahwa hanya orang-orang yang jenius “imajinasi” kuat yang mampu memadukan antara teori dan peraktek.
Dalam khasanah peraktek pengagas pendidikan pertama Ki Hajar dewantoro juga telah melakukan hal yang sama yaitu mengembangkan “imajinasi” pendidikan dengan tataran pada saat itu. Pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Kiaranya gagasan Ki Hajar dewantoro pada masa lalu sampai saat ini masih relavan. Para pakar pendidikan dan pengembangan pendidikan itu sendiri terilhami oleh Ki Hajar dewantoro.
Dalam kajian ini tidak ada kesimpulan yang bisa penulis berikan biarkan nalar imaji kita mengkonkkritkan segala yang terlintas dalam benak.

ALOKASI DANA PRAKTIKUM DARI MAHASISWA UNTUK SIAPA !!!!!!!!

OLEH : Mahmudi
Mustaqim, "Uang praktikum yang kita bayarkan sebanarnya dikemanakan?".
Iza, "ya kita membayar uang praktikum tapi kita tidak pernah ada praktikum".
Udi "Makanya jangan Cuma diem saja jika kita selama ini dibohongi".
Vera & Toni "Tapi disini kan Lembaga Islam, yang mengedepankan Ululul Albab", ulul albab dari hongkong, mana bisa kita menjadi ulul albab kalau kita selalu dibohongi, dan tidak pernah melakukan praktikum".
(Celometan mahasiswa-mahaisiswi)
Seperti diliris M. Ja'far Nashir penulis artikel PERKEMBANGAN TEORI MANAJEMEN PENDIDIKAN, bahwa LPT (Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi) merupakan suatu wadah lembaga yang seharusnya mengantarkan manusia pada alur berfikir yang teratur dan sistematis dan Guru "dosen" bisa menempatkan posisinya sebagai fasilitator yang baik bagi mahasiswanya.
Fasilitator "Dosen" yang baik, ketika ia mampu memberikan yang terbaik kepada mahasisanya. Jika sebuah lembaga diumpakan pasar "usaha" maka selayaknya manajemen pun harus lebih mengedepankan kepentingan pangsa pasar "peserta didik", sedangkan dosen sebagai pelayan dituntut mampu memberikan kontribusi yang sesuai kebutuhan mahasiswanya. Seorang pelayan yang baik tidak akan pernah melakukan kecurangan terhadap konsumennya (mahasiswa).
Hal yang senada dinyatakan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang) mengelola pendidikan tinggi sama artinya dengan mengelola bisnis pada umumnya yang harus selalu menyesuaikan dengan tuntutan Customer-nya secara terencana, profesionalisme, fleksibel, berani mengambil resiko, dan kompetitif. Dikutip dari (Memelihara sangkar Ilmu. 2004:X)
Pernyataan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo di atas berdampak pada pengelolaan kampus. Dimana kampus hanya mengutamakan laba (profit). Perubahan setatus Uin menjadi BLU (Badan Layanan Umum) semakin memperkuat, kampus hanya mementingkat pendapatan sebesar-besarnya dari mahasiswa. Ketika perubahan setatus Uin menjadi BLU, tidak disertai pembenahan seperti kelengkapan praktikum maka perubahan itu hanya sebuah simbol di atas kertas. Dalam artian kampus hanya mementingkan kuantitas dari pada kualitas. Kualitas bukan tidak perlu akan tetapi harus ada keseimbangan antara kualitas dan kuantitas.
Perguruan tinggi sebagai usaha sadar dan direncanakan untuk mencetak mahasiswa agar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara yang sesuai dengan tri darma pendidikan seperti yang diutarakan M. Ja’far Nasir, masih dihadapkan pada persoalan ketersediaan sarana dan prasarana "Lab Praktikum", samapi pada saat ini masih belum terpenuhi.
Pemenuhan sarana dan prasarana "praktikum" merupakan kebutuhan yang harus diprioritaskan. Pengunaan Lab bersama seperti yang dikatakan oleh Moh. Yunus kajur IPs tidak akan efektif dan mahasiswa yang dirugikan. Saat ditanya kapan jurusan dapat memilki lab sendiri ketua jurusan tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, dalam artian mahasiswa untuk mendapatkan pelayanan fasilitas yang masih jauh dari harapan.
Kajur IPs menyayangkan keterbatasan dan pemakaian Lab bersama tapi menurutnya hal itu dilakukan karena di fakultas tarbiyah hanya memiliki satu Lab Micro Teaching , seharusnya di jurusan IPs sendiri harus memiliki Lab School dan Lab Pasar Modal sesuai prodi jurusan ekonomi dan pendidikan. Lab Micro Teaching yang ada di Tarbiyah sendiri masih kurang layak sebab desain bangunannya tidak sesuai yang diinginkan. menurut M. Fadil selaku kajur Tarbiyah. Hal itu dibenarkan oleh Marno selaku penanggung jawab Lab Tarbiyah, menurutnya desain bangunan yang disediakan oleh kampus tidak sesuai yang diharapkan terutama dalam desain lab itu sendiri sebab fakultas tidak ikut campur dalam pendesainan micro teaching karena semuyanya telah dikerjakan oleh kontraktor jadi pihak fakultas hanya bisa menerima bangunan yang telah jadi dan menempati sesuai instruktur dari pihak atas. Menurutnya kami hanya bisa memanfaatkan semaksimal mungkin fasilitas yang ada.
Ketika kebutuhan "Lab" kampus tidak bisa memenuhi dengan baik bagaimana dengan kapabilitas mahasiswanya. Sementara kemajuan dibidang ilmu pendidikan "teknologi" terus berkembang, ketika mahasiswa tidak bisa mengakses sesuai bidang yang ditempuh, bagainama hasil aut put mahasisnya mungkinkah mereka memiliki dedikasi yang baik dan bisakah mereka bersaiang dengan kampus lain-nya.
para pengelola kampus sekarang cenderung tidak mempersoalkan masalah praktikum, mereka lebih memprioritaskan pada penampilan fisik infrastuktur saja. sementara persoalan yang menunjang pada akademik kurang diprioritas secara khusus oleh kampus. disinyalir kampus sengaja mengabaikan dan lebih fokus pada penengembangan mahad saja. padahal mahad bukan prioritas, seharusnya yang menjadi prioritas adalah penunjang akademik sesuai jurusan yang diambil oleh mahasiswa

"Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius" ( Dr.Gunning, dikutip Langeveld, 1955).

Pada kutipan di atas secara garis besar menekankan bahwa perlu adanya pengintegrasian antara teori dan praktik "flow up" dari teori tersebut. Teori merupakan kerangka yang akan mengantarkan anak didik pada dedikasi yang lebih baik. Sedangkan aplikasi dari teori "praktik" merupakan alat ukur sejauh mana peserta didik mampu memahai materi yang disampaikan.

Praktikum selalu dikaitkan denagan Laboratoriom. Akan tetapi tidak semua praktek harus dilakukan "membutuhkan" laboratoriom. Hal senada dikatakan oleh M. Padil, M.Pdi kajur PAI "bahwa semua mata kuliah ada prakteknya, tapi tidak semua pratikum itu harus dilakukan di Lab" karena menurutnya sebuah teori tidak hanya untuk diketahui, untuk apa tahu teori tapi pada tataran prakteknya tidak bisa.

Pemahaman teori tidak menjamin seseorang bisa mengaplikasikan (mempraktekkan teori yang didapat) di lapangan. Mengetahui struktur teori memang perlu, akan tetapi pengaplikasian "praktek" dari teori tersebut merupakan hal yang paling urgen. Kesadaran dari mahasiswa akan pentingnya peraktikum masih minim. Penanggung jawab Lab Marno menegaskan "Bahwa mahasiswa kurang memiliki kesadaran akan pentingnya peraktikum, sehingga mahasiswa lebih banyak pasif dan senang ketika guru "dosen" tidak mengajar, padahal mahasiswa sendiri yang dirugikan".

Pernyataan Marno seharusnya membuka kesadaran mahasiswa dan dosen. Dosen selaku pengajar yang harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam mengembangkan mahasiswa/i dan memberikan seluas-luanya kepada mahasiswa untuk mengespresikan potensinya. Bukan malah menjadi contoh dengan sengaja meninggalkan tanggung jawab sebagai pengajar "Malas mengajar atau masuk kampus".

Berhasil tidaknya pembelajaran yang disampaikan oleh "dosen" dapat dilihat sejauh mana mahasiswa/i mampu mengaplikasikan dalam kerangka berfikir yang nyata. Oleh sebab itu Laboratorium sebagai penunjang terhadap pembelajaran merupakan hal yang sangat penting ". Selama ini instrumen yang disampaikan oleh dosen masih sebatas wacana, belum mampu membangkitkan nalar mahasiswa, kenyataan ini harus dijadikan tolok ukur, sebab banyak mahasiswa/i masuk kuliah bertujuan hanya sekedar mengisi absensi hal itu dapat dilihat dari respon mereka yang pasif.

Pernyataan kajur PAI bahwa "semua mata kuliah ada prakteknya" seharusnya tidak hanya sebatas wacana saja.pernyataan itu harus diimbangi dengan peran dosen dan para birokrasi sebagai penangung jawab terhadap kemajuan kampus baik secara fisik maupun kapasitas intelektual mahasiswa dalam rana praksis maupun praktik. Melihat di lapangan pernyataan Kajur Pai tentang praktek dilapangan itu masih belum terrealisasikan praktikum hanya menjadi buah bibir disekitar telinga yang tak mendengar.

Hal itu sejalan dengan pernyataan Anwar bahwa "semenjak semester pertama sampai semester dua saya tidak pernah ada peraktek" ungkapnya.
Saat ditanya mengenai peraktikum lebih jau mahasiswa jurusan PAI menegaskan "saya tahu adanya praktikum pada brosur penerimaan pada angkatan 2007 disebutkan bahwa SPP untun non saintek Rp. (SPP) 600.000,00. + (Praktikum) 200.000,00. disatukan dalam pembayaran SPP Rp. 800.000,00.". Ungkap Anwar sambil bertanya pada teman di sampingnya. Penyatuan keuangan praktikum dengan SPP juga menjadi persoalan. Dosen pengajar yang memiliki peran dan tanggungjawab terhadap pola berfikir mahasiswa/i-nya tidak pernah menyinggung adanya praktikum, ada semacam persetujuan yang berkesinambungan, padahal jelas-jelas pungutan dana praktikum itu ada. Apakah dosen tidak tau terhadap mekanisme, serta tanggung jawabnya sebagai fasilitator sekaligus pengarah bukan malah memanipulasi apalagi korupsi terhadap anak didiknya.
Lembaga Pendidikan PT (Perguruan Tinggi) sebagai wadah untuk menghantarkan manusia kedalam alur berfikir yang teratur dan sistematis dan bisa menempatkan peran mahasiswa-mahasiswinya kearah yang lebih produktif dan aspiratif, masih sebatas pewacanan, karena penunjang untuk semua itu masih belum sempurna.
Oleh karena itu untuk mengembangkan segala potensi mahasiswa-mahasiswi yang ada tentu harus diimbangi dengan kelengkapan alat dan prasarana "Lab" yang memadai dan lebih baik, hal ini yang samapi saat ini masih belum bisa dilakukan oleh kampus. Karena Lab yang ada masih banyak kekurangan.
Fasilitas "laboratoriom" Uin khususnya Tarbiyah masih banyak kekurang.instrument penunjang yang dibutuhkan misalnya kamera untuk shooting jumlahnya masih kurang. Alat kamera yang minimal dua,kekurangan instrument kelengkapan lab dibenarkan oleh penanggung jawab Lab Tarbiyah "kalau kita bicara kelayakan, minimal kamira dua, satu untuk menyuting bagaimana penyampai mahasiswa saat mengajar, dan yang kedua menyoroti kondisi yang didik. Ungkap Marno penanggung jawab Lab.
Untuk sementara mahasiswa-mahasiswi hanya bisa memanfaatkan sarana dengan seadanya. Keterbatasan sarana bukan sebauh persoalan baru, hanya saja pihak kampus tidak pernah peduli bahkan cenderung membiarkan begitu saja. Demonstrasi yang sempat ricuh 4 Juni 2008 merupakan sebuah respons mahasiswa terhadap kebijakan birokrasi. Akan tetapi kejadian tersebut tidak bisa membuka kesadaran para birokrsi. Justru Para birokrasi menanggapi persoalan "peraktikum" lempar batu sembunyi tangan.
"Kelengkapan fasilitas, Laboraturium dalam tahap negosiasi dengan Islamic Development (IDB)" (Radar Malang 6 juni 20080)
Pernyataan Baharuddin Pembantu Rektor III (PR III) UIN Malang, seperti yang dilanksir Radar Malang, menunjukkan bahwa lembaga "kamupus Uin" tidak menetukan sikap, bisanya hanya beralibi setiap saat. Terbukti dalam usaha pemenuhan fasilitas harus melakukan negosiasi dengan pihak IDB, selaku pemberi hutang "modal" kepada Uin. Kampus sebagai pengembangan keintelektualan menjadi lahan bisnis.
Interfensi pemodal bukan hal baru. Pemodal memiliki peran terselubung dalam setiap kebijakan Uin, kenaikan uang masuk bagi mahasiswa/i baru merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Meski pun H. Imam Suprayogo 10/06/2008 menegaskan kenaikan uang masuk itu disebabkan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Akan tetapi kalau dilihat kondisi dan realitas di lapangan hal itu amat berbeda. Kemengahan infrastuktur (gedung) sekarang bukan tanpa beban. Bagaimana pun kemegahan gedung Uin Malang adalah hasil hutang ke IDB, untuk menutupi semua itu dari mana kalau tidak dari mahasiswa/i "dengan menaikkan anggaran pendidikan".
Kemegahan yang dihasilkan dari tangan ketiga (Pemodal/ IDB) hanya kemegahan yang fatamorgana. Karena pada dasarnya pihak investor "pemodal" sama, yaitu mereka ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperdulikan kondisi kampus. Kemudian yang menjadi korban tidak lain mahasiswa/i itu sendiri.
Ada sebuah ungkapan "Pendidikan hanya untuk mereka yang beruang "kaya", sedang orang miskin akan terus tersingkir" ungkapan kata tersebut kiranya tidak berlebihan. Biaya pendidikan yang mahal, semakin menjadikan jarak antara orang miskin dan kaya. Realitas di lapangan banyak ketimpangan yang diderita oleh orang miskin.
Ketimpangan itu diperparah oleh kebijakan yang semakin mempersempit gerak mereka terutama untuk mengakses pendidikan yang layak pendidikan yang memanusiakan manusia. Jika tujuan pendidiakn tidak lagi mengutamakan kecerdsan bangsa dan cendrung mengutamakan modal maka secara tidak langsung nasib dan kehidupa mahasiswa telah digadaikan. Pergerakan "penolakan" para mahasiswa untuk lepas dari intimidasi asing "pemodal" hanya menjadi cita-cita semu.
kini mahasiswa dihadapkan pada probalematika yang ada pada intern kampus, dimana kampus tidak bisa memfasilitasi kebutuhan "praktikum". kampus berkeinginan melaju jauh, sementara keterpurukan "praktikum" tidak pernah mendapat prioritas.
Mahasiswa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri untuk merubah pikir, sikap, dan persepsi dalam merumuskan masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya jika materi perkuliahan yang didapat mahasiswa itu ditunjang dengan praktik yang memenuhi standart. Karna pada dasarnya praktikum merupakan aplikasi dari apa yang telah diperoleh dari bangku kuliyah.
Oleh sebab itu mahasiswa seharusnya mendapat perelakuan dan pembelajaran yang ideal, karna pendidikan merupakan kebutuhan yang peling urgen dalam kehidupan ini, lantas pendidikan yang edial seperti apa ? kalau Uin pada setiap kesepatan selalu diagung-agungkan oleh rektor pada tiap kesempatan, sementara sarana yang ada di kampus seperti kelengkapan Lab masih jauh dari apa yang diharapkan. Apakah benar Uin patut diagungkan denga dengan segala kekurangan yang tertutupi dengan disengaja.
Sementara keluhan dari berbagai fakultas dan jurusan tidak pernah mendapat perhatian dari kampus. Pada dasarnya mereka memiliki keluhan yang sama mengenai ketidak jelasan praktikum, akan tetapi kampus menutup telinga terhadap persoalan itu.
Mahasiswa dari beberapa fakultas dan jurusan, pada umumnya mereka merasakan kekecewa dengan adanya praktikum yang tidak jelas. Sama’ salah satu mahasiswi fakultas tarbiyah IPS mengaku selama semester satu belum pernah melakukan peraktikum. "sejak semester pertama sampai semester dua saya tidak pernah ada praktikum" ungkap Sama’ . Padahal pemungutan dana peraktikum berjalan semenjak masuk "aktif" sebagai mahasiswa-masiswi.
Apa yang dirasakan Sama’ juga dirasakan oleh mahasiswa yang lain, kapan teriakan mereka didengarkan dan bisa mengetuk hati nurani para pemimpin. sementara kalau kita flash back ketidakjelasan praktikum merupakan warisan dari tahun ke tahun. Menurut faruk (bukan nama sebenarnya) "permasalahan dana peraktikum yang tidak jelas aplikasinya sudah terjadi kurang lebih dua tahun lebih" Maka jangan terlalu banyak berharap aut put yang didapat di Uin bisa diperhitungkan oleh masyarakat dan mampu bersaing dengan yang lain.
Ada perbedaan persepsi mengenai praktikum dikalangan kajur, mengambarkan sebuah keironian. Menurut kajur IPS "tidak semua mata kuliah ada perakteknya", menurutnya yang membutuhkan peraktek seperti Micro theaching, TI (teknoligi informasi) pengelohan data, penbuatan permohonan proposal.
Berbeda dengan pernyataan Kajur PAI yang mengatakan "semua mata kuliah butuh praktek". Perbedaan di kalangan kajur semakin menambah ketidak jelasan "praktikum" hal itu mencerminkan kampus hanya mempesona, aplikasinya tidak ada. Kenyataan di lapangan mahasiswa tidak pernah melakukan praktikum, jangankan melakukan praktikum pada tiap-tiap materi kuliah, untuk materi kuliyah yang sangat membutuhkan praktek sesuai jurusannya masih kete-teran, karna perasara yang ada masih minim.
Anasari salah satu mahasiswi Jurusan IPS semister II mengaku kecewa terhadap mekanisme "praktikum" yang ada di Uin, terutama alokasi dana praktikum "saya tidak tahu kenapa ada pungutan dana praktikum tapi pelaksanaannya tidak ada, padahal disini lembaga yang berlabelkan islam, bagai mana hukumnya ? sari mengungkapkan kekecewaan terhadap kru inovasi sambil bertanya balik.
Mahasiswa berhak mendapatkan apa yang harus mereka dapatkan seperti pelayanan praktikum praktikum. Persoalan yang timbul dikalangan mahasiswa, kebanyakan diantara mereka cenderung pragmatis dan hedonis sehingga tidak memeliki kesadaran untuk menegdepan mana kepentingan yang perlu mengedepankan prioritas mana yang tidak. (MAHSISWA DAN TANTANGAN-NYA Dikutip dari majalah ACTIVA Edisi IV 2002,).
Sementara kampus yang berperan dalam peningkatan keintlektualan terhadap mahasiswanya kini berbalik arah, dimana kampus saat ini hanya mementingkan omset "laba" dari mahasiswanya tanpa berfikir bagai mana memberikan yang terbaik.
Pemungutan dana praktikum sebesar Rp. 200.000,00. untuk non saintek, dan Rp. 300.000,00. untuk saintek. Kalau diakumulasikan bukan jumlah yang kecil. Tapi kenyataanya kampus tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada persoalan pratikum itu sendiri. Kampus disibukkan terhadap Visi barunya BLU (Badan Layanan Umum) dimana prioritas kampus bukan akademis tapi menjadi ajang bisnis.
Amat disayangkan memang pungutan dana praktikum dari mahasiswa yang berjalan mulai dari periode angkatan 2005 sampai sekarang masih tidak ada bentuk yang yang jelas. Anehnya kampus tidak ada inisiatif untuk segera melakukan perbaikan, terhadap persoalan praktikum.
Kalau selama ini di fakultas tarbiyah Lab-nya digunakan bersama PAI, IPs, PGMI, hal disayang oleh kajur IPs sendiri akan tetapi hal itu tidak bisa menjamin ada perubahan. Mahaiswa angkatan 2008 dan angkatan yang akan datang, tidak bisa mendapat jaminan bisa akan memperoleh pelayanan yang layak terutama dalam pelaksanaan praktikum.
Keluhan mahasiswa dari beberapa fakultas dan juruasan pada dasarnya sama, ya itu meraka kecewa terhadap pelaksanaan praktikukun tidak maksimal. Ketidak maksimalan itu terjadi dikarnakan tidak lengkapnya sarana praktikum dan terbatasnya Lab.
Sampai kapan mahasiswa-mahasiswi menjadi sapi perah oleh birokrasi Uin. Tentu jawaban itu tidak akan pernah ada jika mahasiswa diam saja dan acuh pada kebijakan yang tidak memihak mereka. Samapai kapan mahasiswa menunggu datangnya keajaiban dari Tuhan!.

MENELUSURI "KONSEP" PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Mahmudi
Pendahuluan
Islamic education has its own peculiar character, which distinguishes it very clearly from out her types of educational theory or practice. This distinguishing feature is due to the ambient presence and influence of the Quran on one Islamic education. The Quran is, by the consensus of the Muslim opinion, in the past and the present, the immutable source of the fundamental tenets of the Islamic of its principles, ethics, and culture. It is also perennial foundation for Islamic systems of legislation and of social and economic organization. This Quranic why has the distinction of connecting all disciplines of the man with the higher principles of the Islamic creeds, morals, social and economic policy as well as with the legal practice. The systems of Islamic education is basic upon the notion that every discipline and branch of knowledge, which is of benefit to society and necessary for it, should be given doe to attention by the Muslim community or Ummah as a whole in order to educate all some of its members in those disciplines (Syed Muhammad Alnaquik Al Atlas, aims and Objectives of Islamic education, King Abdulazis University, Jeddeh, 1978,p. 126)
Islam sebagai rahmatan lilalamin bukan hanya sekedar slogan saja. Bukti nyata dari semua itu dapat dilihat dari turunnya ayat Al-quran yang pertama, iqro’ (bacalah), Ayat itu memiliki makna yang mendalaman, dan universal.
Kemajuan islam dari prasejarah tidak bisa lepas dari peran para ulama’ "pendidik" yang terus menerus melakukan sebuah kajian secara kontinyo terhadap fenomena/kemajuan pendidikan. Dari kegigihan itu lahirlah pakar-pakar "ilmuan" silam. Kepedulian islam terhadap pendidikan dapat dilihat dari ayat Al-quran yang lain dan beberapa hadits Nabi Muhammad "carilah ilmu semenjak dari buayan (lahir) sampai keliang lahat mati" Al-hadits. Pesan itu menunjukkan betapa pentingnya pendidikan.
Lalu bagaimana konsep pendidikan islam. Pendidikan islam tidak lepas dari fisi utama Nabi Muhammad yaitu menyempurnakan akhlak. Seperti dua pendapat tokoh dibawah ini.
Dr. Miqdad Yaljan : pendidikan islam adalah sebuah usaha untuk menumbuh kembangkan dan untuk membimbing muslim menjadi baik, memiliki kesehatan, kepercayaan/keyakinan, akhlak, keinginan, dan kreasi yang sempurna berdasarkan nilai-nilai islam (Miqdad Yaljan 1986 : 20)
Dr. Muhammad S.A Ibrahimy : islam Education is as system of education which enables to lead his life according to the islamic ideology, so that he may esaily mould his life according tenets of islam (pendidikan islam adalah sebuah sistem pendidikan yang menyebabkan manusia dapat memimpin kehidupannya berdasarkan ideologi islam, sehingga dia dapat dengan mudah mencetak kehidupan berdasarakan ajaran islam - Muhammad S.A Ibrahimy, 1983 : 28 )
Mainsterm pemikiran di atas, jika dicermati secara hati-hati, cenderung mengarah pada modifikasi rancangan-bangun pendidikan yang menitik beratkan pada: pemberdayan sistem ( the establshment of system), penetrasi budaya (cultural penetration), dan elaborasi keilmuan (scientific elaboration) secara benar dan utuh, bersih dari dari intervensi kekuatan eksternal-kekuatan diluar bangunan islam. Perjalan cita-cita mulia ini, sayangnya ,seringgkali kelihatan tertatih-tatih oleh karena, minimal, semakin parahnya penyakit lumpuh didritah oleh manyoritas muslim. Penyebab utamanya adalah: pertama, masyarakat muislim terlanjur menjadi komunitas bersosk banci, effeminate shape, dan kondisi semacan ini semakain menjadi ketika para pemikir muslim terapologis dengan"dasi" mereka,bahkan cenderung mempertontonkan idiom sekularisasi (dalam pengertian sangat sempit dan rigit) dihadapan massanya secara berlebihan. Kedua, sebagian orang islam, justru, mulai berani mencurigai kehadiran dienullah bahkan menudingnya sebagai salah satu pernyebab tertinggalnya tatanan pendidikan yang dikelolah oleh sebahagian institusi berlabelkan islam, diterngah-tengah pergaulan global. Ketiga, affirmasi pendidikan oleh dan atas nama lembaga tertentu, tidak bisa mengakomudasi kepentingan islam dan ummat islam secara keseluruhan, sementara, universalitas itu secara simultan mestinya menjadi simbol atas nama kebersamaan (membership) dalam proses menyelenggarakan pendidikan. Fenomina ini semakin diperjelas oleh adanya watak bawaan berupa sifat "lata" yang oleh Alfin Tofler dianggap sebagai salah satu dari sekian banyaknya penyakit psikologis yang disebut social shok.
Disamping itu sensitivitas masyarakat dan para pengelola dan para pengelola pendidikan Islam, agaknya perlu dipertanyakan. Masih mungkinkah kepekaan itu dari bersumber dari nlai-nilai Qur’ani. Format pertanyaan diatas menurut Syed Muhammad Alnaquik Al Atlas didak boleh dipahami sebagai sesuatu yang sederhana, kecuali karena ia muncul dari peranata sosial, secara filosifis, ini dihawatirkan bisa berpengaruh langsung atau tidak langsung pada kemapanan dan sublimasi konsep penataan pendidikan yang berasal dari langit itu.
Progressivitas pemikiran semacam ini harus diiringi dengan kesungguhan berbuat dan keseriusan didalam setiap langkah. Mutual simbiosisme harus menjadi bagian dari percepatan peradapan manusia. Sebuah teradisi yang sesungguhnya sedauh lama di proyeksi oleh the founding father, terutama oleh para ulama’ yang tekun menanam pendidikan dibeberapa pondok pesantren. Kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat terdidik dengan masyarakat yang dididik, merupakan modal dasar untuk mewujudkan cita-cita agung sebagaimana yang disajikan oleh Al Atlas diatas.
"SAJADAH" PENDIDIKAN ISLAM
Sajadah adalah simbolisasi peradapan muslim. Di tempat ini, segala macam kreatifitas dan aktivitas berpusat. Sebuah lambang geliat keagamaan yang amat dinamis walau pun terkesan sacral. Dari tema sacralitas itu bakal, palinh tidak, diperoleh "kalam suci" untuk memulai langkah, ibtidaaaul khothwah, agar tidak terlalu banyak dijumpai sekay-sekat yang menyebabkan perjalanan seringkali tergantung. Di bawah ini, berikut penulis tampilkan tiga pilar utama, dengan tidak bermaksud untuk mengesampingkan pilar-pilar yang lain, the third primary pillar, untuk dijadikan referensi dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebagai mana yang diharapkan pula oleh Dr. Yusuf Al-Qurdawi (baca : Pengantar Kajian Islam, Pustaka Kautsar, Jakarta Timur, 1097).
Penataan sistem pendidikan.
Sistem yang dimaksud adalah on ordered comprehensive of facts, principles, or doctrine (Mario Pei : 313). Keterkaitan dan asimilasi fungsional itu, antara lain, meliputi :
Universitas (sekolah). Ada kata kunci yang dapat dijadikan rujukan dalam menejerial pedidikan (Universitas), yaitu, Universitas dengan sendirinya bisa berwujud sebagai sebuah tempat yang sehat – dan menyehatkan – untuk bertempat tinggal hanya jika kebutuhan-kebutuhan mahasiswa-siswinya terpenuhi (the school itself can become a more healthful place to live only when the needs of students are known, Delbert Oberteaffer, Ph. D. School Health Education, 1954 : 68). Kebutuhan dimaksud adalah tersedianya ruang greak yang luas dan manusiawi bagi mereka sehingga mereka memiliki probability sepenuhnya di dalam mencari dan menemukan dirinya sendiri dengan bantuan tulus dari seorang guru.
Guru "Dosen". Kamus yang neburut penulis, terbaik untuk dipersembahkan kepada tuan penyelenggara pendidikan, adalah bahwa guru merupakan sosok sentral yang sekaligus menempati posisi strategis, oleh karenanya, di leher beliau harus dikalungkan empat tugassuci, yai itu :
Penasehat dan Pemberi Informasi
Ketika nasehat itu telah menjadi tradisi, mak unsur keteladanan tidak bisa dianggap persoalan nomor dua, the second issue, bahkan wajib diletakkan pada "shof" pertama dan wajib dijaga bersama-sama. Yang kedua, filterisasi informasi menjadi tidak kalah pentingnya dengan keteladanan ketika yang satu ini sedang berhadap-hadapan dengan musuh bebuyutannya berupa kebebasan transformatif.
Penyuluh (counselor). Seorang guru daharapkan mampu menjadi pelita buat murid-muridnya, sebuah lampu penerang yang cahayanya akan menghalau kegelapan jiwanya sendiri, terlebih jiwa anak didiknya. Di samping itu, guru seharusnya mencoba membantu perkembangan independensi berfikir dan cara mengambil keputusan terhadap siswa-siswinya. He also attempts to understand basic causal factor underlying his students behavior.
Pemengang disiplin (disciplinarian). Disiplin yang dimaksud adalah kemauan yang keras dan cita-cita yang tinggi, bagaimana stabilitasi pendidikan mampu bertahan dari derasnya kekuatan negatif-distruktif nilai-nilai global, dengan tidak mengesampingkan sikap flexsibel dan terbuka. Pemaknaan flexsibelitas secara mendalam, tentu menjadi pertimbangan utama pada saat penetapan kedisiplinan itu sadangf berlangsung ( in action) di areal yang lebih spisifik, sepereti : di kelas, di kantor, dan di lingkungan pendidikan lainya.
Motivator. Seorang guru diminta untuk dapat menguasai situasi yang dipercaya akan menstimulir perbuatan murid-murid tertentu dengan ara menganugrahkan penghargaan-berupa apa pun – dan dengannya diharapkan muncul semangat baru. Motivasi semacam ini bakal meraih banyak keuntungan jika pendistribusiannya selalu digandengkan atau, paling tidak, disejajarkan dengan adanya komonikasi bathin yang disponsori oleh ruh ke-Tuhanan (ruuhul ilaahiyyah) antara sang guru dengan anak bi/didik-nya.
Murid. hampir bisa dipastikan bahwa keberadaan murid-sebutan paling sederhan dari kerlompok masyarakat muda dan tertentu yang sedang dan akan menimba ilmu pengetahuan ditempat tertentu pula-dalam kontek pemberdayaan ummat, sama esensinya dengan guru. Urgensi ini bisa dilihat melalui sebuah pengamatan ilmiah (diskursus) terhadap jantung lembaga pendidikan, dimana rengking pertama yang menjaedi sorotan masyarakat tentang kegagalan pendidikan, selalu ditujukan pada guru dan murid secara bersama-sama. Untuk menangkis pukulan diatas, maka perlu didiskusikan kembali pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihyaa Ulumuddin, juz I, halaman 49, bahwa masalah mendasar yang wajib dikantongi oleh seorang murid sebelum memasukan beragam ilmu kedalam otak dan hatinya adalah: proses purifikasi diri dari kotoran atau ahlaq yang tercelah (taqdiimu thohaarotun nafsi ‘an radzaailil ahlaaqi)
Kurikulum. Menurut John D. Mc. Neil, berikut empat fungsi yang layak dimiliki oleh kurikulum, jika pemberlakuannya ingin diterimah oleh improvisator pendidik pada umumnya.
Common or general education. Fungsi umum (dari kurikulum) adalah sebuah jaringan, a net, melalui kurikulum yang dialamatkan pada murid- murid (the learners), sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiaan dan kebangsaan, tidak bersifat spesial dan personal atu seseorangan yang mengusung interres unik. Kesuksesan fungsi ini tentunya diukur dari/melalui kemampuan mendorong dan menanggung proses elaburasi budaya
Suplementation. Untuk melayani fungsi ini, sebuah kurikulum dapat didesain melalui rekapitulasi dan, sekaligu, pelayanan beragam kemampuan dasar (tatents) dan minat yang dimiliki oleh masing-masing siswa/i, bahkan bisa menyebrang pada atensi khusus yang dibutuhkan dan oleh karenanya, kurikulum dimaksud, selalu bersifat personal atau individual, tidak bersifat komunal.
Exploration. Lapangan (field) ini harus dijadikan kesempatan bagi siswa/i untuk menemukan dan mengembangkan minat pribadi yang mampu menangkap (to capture) kebermaknaan explorasi. Jika tahapan ini dijalankan dengan baik, kurikulum akan menjadi media bagi murid-murid guna mengenal lebih dalam tentang semangat keberpihakannya terhadap entitas keilmuan.
Specialization. Budaya pendidikan, education culture, pasca "post moderenisme" (sebuah hasil karya cerdas dari masyarakat gelombang ke-tiga) ternyata tidak mampu membentuk manusia yang bisa tahu dan mengetahui dirinya sendiri – meminjam istilah Anom Surya Putra (Majalah Gerbang, 2000:22) -- , melainkan sekedar para spesialis yang sibuk mencari keterkaitan global semua gejala.
Selanjutnya, dikatakan bahwa ada ahli hukum (yang buta terhadap hukum), pemikir politik, dan sastrawan yang mencoba melihat berbagai kesamaan diantara realitas sosial yang beragam, dan dengan berpijak darinya dapat menawarkan persepektif- persepektif global tentang apapun. Sayangnya, konsep, ide, dan apapun kosa kata lainnya, adalah hasil ciptaan mereka sendiri yang, agaknya, sulit untuk dipahami apalagi icicipi. Andai bukan karena keterbatasan jarak pandang, ratifikasi budaya yang diilhami oleh civilisasi bebas nilai itu, dipastikan semakin meraja lela. Padahal kita tahu bahwa tidak ada kebenaran absolut dan permanin yang dapat menentukan kita "diluar sana", dan membuat kita tergantung terus dengannya. Subordinasi yang membuahkan keyakinan akan dahsyatnya kekuatan transidental.
Melihat kerapuhan psiko-sosial seperti itu, Islam melalui jarahan sistem pendidikannya, melalui kepolosan budayanya telah dan mampu menyumbang sejarah kemanusiaan bahwa pimpinan pengembaraan pendidikan itu, tetap dipegan oleh Allah sendiri. Otak atau akal pikiran bukan satu-satunya pusat pengembangan explorasi saintifik, tetapi qolbun selamanya harus menempati wil;ayah central (supra struktural) dan kapasitas intelek tual hanya merukan jembatan (infra struktur). Kerangka berfikir semacam ini haru didukung oleh Qur’ani dari masing-masing sistem yang terkait, terutama, sekolah, guru, dan kurikulum. Nafas sama diantara ketiganya menjadi amat niscaya ketika glombang peradapasn nyaris menindih rumah suci yang aset pembangunannya hampir sebanding dengan nyawa umat Isla. Ukhwatul ’Ilmiyyah bagi Said Hawwa (baca Said Hawwa, Al-Islam, Gema Insani, 2004) merupakan jamu alternatif yang sangat mujarrap tanpa mengabaikan inklusifitas yang diajarkan oleh Rasulallah sebagai panutan pertama dan utama didunia pendidikan.
C. Elaborasi keilmuan
Titik kejemuhan yang dialami oleh guru, murid-sebagai aktor utama pendidikan -- , madrasah/ sekolah, dan kurikulun, tidak terlepas dari mewabahnya adigium science for science , sebuah sketsa berfikir yang terlepas sama sekali dari tuntutan spritual. Kering dan gersang ! Dalam konteks ini, teradisi Pondok Pesantren beserta kidung verbal-nya, al-’aalimu man ‘amila bi’ilmihii, sangat tepat untuk dijadikan rujukan. Yang kedua, al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajari bilaa tsamarin, sedikit pun tidak boleh luntur dari "sarung" para perancang pendidikan islam. Giri dan anak didik tidak boleh terpisah ketika keduanya sama-sama berada di "meja makan", ketika keduanya sama-sama menikmati lezatnya ilmu pengetahuan yang oleh Dr. Achmad Asy-Syarbashy di dalam kitabnya yasaluunaka fidini wal hayah disebut ta’tsiirul ‘lmi wal ‘amaly.
KESIMPULAN
Tulisan di atas, tentu, tidak bisa dianggap sebuah kesempurnaa apalagi solusi komprehensif yang menyeluruh terhadap berbagai problematika yang tidak henti-hentiya muncul berkenaan demgan pengelolaan pendidikan Islam. Kecuali karena ia membatasi diri pada space pendidikan formal, adalah tagihan yang berlebihan jika kumpulan beberapa pemikiran di atas dipaksakan menjadi wahyu ketiga setelah Al-Quran Kalamullah dan Hadits Rasulullah Alaihi Wasallam. Allah dan Rasusul-Nya adalah satu-satunya sandran vertical dan horizontal jika kita masih punya harapan bahwa attarbiyyatul Islaamiyyahhah Taquumu Laaziman Fii Kully Zamaanin.
Semoga sumbangan pemikiran Al-atlas berikut akan menambah fitalitas dan kebugaran semangat kita dalam menyongsong hari-hari yang pemuh dinamika, terutama, pada saat genderang perjuangan di bidang pendidikan sudah ditabuh di mana-mana, ketika sedang berada pada posisi mapan, the long standing pattern, ya itu :
Muslim education unanimously agree that the purpose of education is not only to cram the students’ mind with facts but also to prepare them for a life of purity and sincerity this total commetment to character-building basic on the ideals of Islamic ethecs is the highes goal of Islamic education.
Cita-cita agung ini seharusnya menjadi denyut nadi setiap muslim. Ini bukan karena sekedar ingin menyesuaikan diri dengan "selera" zaman, tetapi adalah merupakan tanggung jawab pengemban amanat Allah. Dus, kelak nsejarahakan menjadi saksi tantang apa yang telah, sedang, dan kita lakukan insyaallah.


BAHAN BACAAN
Al-Atlas, Al-Naquib, Muhammad, Syed, Aims and Objectives of Islamic Education, King Abdulazis University, Jeddah, 1978.
Al-Ghazaly, Ihyaa Ulumuddin, Juz I, Daaru Ahyaail Kutubil Arabiyah, Indonesiah.
Ibrahimy S. A., Muhammad, Mass Midia Islamic Gasette, Bangladesh, 1983.
Mc.Neil, D., John, Curriculum A Comprehensive Introduction, Foresman, Caero 1977.
Oberteafter, Delbert, School Health Education, Harpen and Brothers Publiser New York, 1954.
Yaljan, Miqdad, Al-Ahdaaf Attarbiyah Al-Islamiyah Waghayaatuha, Riyadl, 1986.
Hawwa, Said, Al-Islam, Gema Insani, Jakarta, 2004.
Al-Qardhawi, Dr., Yusuf, Pengantar Kajian Islam, Pustaka Al-Kausar, Jakarta Timur, 1997.

Selasa, 02 September 2008

Uin. Tragidi Bulan Juni "demonstrasi"

BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir Teori Social Budaya yang dibimbing oleh Samsul Susilowati, M.Pd. dalam hal ini saya mengambil sub bahasan TRAGEDI BULAN JUNI di UIN MALANG KASUS DEMONSTRASI oleh Gerakan Aksi Mahasiswa (GAM).
GAM adalah sebuah pergerakan mahasiswa yang mengedepaan asas kebersamaan. Dan ada pun pembentukan GAM didasari atas kepentingan mahasiswa dan tujuannya mengkritisi kebijakan birokrasi yang merugikan mahasiswa dan sikap otoriterisme Rektor1.
Seperti yang banyak dilansir oleh media lokal dan nasional, baik itu media cetak atau elektro TV dan Radio, memberitakan bahwa aksi itu terjadi karna adanya beberapa kebijakan yang dinilai merugikan masiswa, seperti penutupan akses jalan di belang kampus Uin, penerapan jam malam, denda Rp. 50.000,00 bagi KTM yang hilang, adanya pungli dll.
Aksi pertama pada tanggal 4 juni. Aksi audensi secara garis besar diterima oleh pembantu Rektor I Prof. Muji raharjo. Dalam aksi ini masiswa (para pendemo) mengejukan surat perjanjian untuk ditanda tangani. Namun pembantu rektor tidak menandatanginya, kemudian aksi semakamin memanas mahasiswa mendesak untuk segera ditandatangai. Kemudian pembantu rektor meninggalkan para peserta demonstrasi. Secara spontan mahasiswa bergerak maju dan terjadilah aksi dorang mendorang dengan petugas satpam yang berujung pada konflik.
Tawur (konflik) terjadi antara mahasiswa, dosen dan para penjabat kampus disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dalam mencermati sebuah permasahan2. Begiju juga kasus yang terjadi di Uin pada tanggal 4 juni 2008 perbedaan sudut pandang dalam menanggapi sebuah kebijakan berujung pada ketodak puasan. Dalam pandangan mahasiswa kebijakan yang diterapkan oleh birokrasi terkesan dipaksakan dan tidak mengarah pada akademis.
Selain itu, tawur (konflik) batin yang mereka lakukan juda dapat disebabkan oleh kehidupan dinamika kampus yang bergerak begitu cepat dan menuntut kesiapan SDM3. Salah satu penyebab yang paling urgen terjadinya konflik adalah tuntutan “birokrat” kampus yang terlalu berlebih dalam setiap penerapan kebijakannya. Sementara sarana dan prasarana (mahasiswa) kurang diperhatikan sehingga antara kebijakan dan penunjang tidak berimbang.
Tindakan mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan kampus patut diapresiasi. Karan apa bila dalam suatu tatanan kelembagaan (kampus) tidak ada control, maka lembaga itu akan semena-mena dalam memberlakukan kebijakannya. Maka dalam hal ini suatu lembaga menjadi keharusan untuk selalu melakukan evaluasi dan koreksi dalam setiap kebijakannya. Mahasiswa dalam kasus 4 juni 2008 merupakan sebuah tolak ukur dan sekaligus koreksi terhadap kebijakan-kebijakan kampus.
Dalam hal ini saya akan mencoba mengkaji (meneliti) Tragedi Bulan Juni Di Uin Malang Kasus Demonstrasi :
Rumusan masalah
Apa yang melatarbelakangi mahasiswa (GAM) melakukan demonstrasi
Sebab-sebab terjadinya bentrok mahasiswa (GAM) dengan petugas.
Bagaimana solusi penyelesai permasalahan di atas.
Tujuan
Ada pun tujuan dari penelitian ini adalah :
Memahami dan mengetahui secara benar apa yang melatarbelakangi mahasiswa (GAM) melakukan demonstrasi.
Mengetahui secara benar sebab-sebab terjadinya bentrok mahasiswa (GAM) dengan petugas.
Dapat memberikan solusi dengan baik dan benar dalam suatu permasalahan
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Mahasiswa (GAM) dan Demonstrasi
Sebelum kita bahas lebih dalam latar belakang terjadinya demonstarsi kita pahami dulu apa itu mahasiswa (GAM) dan demonstrasi. Mahasiswa ialah pelajar perguruan tinggi4. Kalau dipisa kata mahasiswa menjadi maha (besar dan terhormat)5. dan siswa (pelajar pada akademik perguruan tinggi)6. Jadi Mahasiswa ialah seoarang yang terhormat ter-pelajar pada dunia akademik pada perguruan tinggi.
Sedangkan demonstrasi adalah unjuk rasa; tindakan bersama untuk menyatakan protes7. Protes kersas tentang ketidak adilan atau penyelewengan dilakukan dengan banyak orang (desertai poster dan yelyel)8. Jadi demonstrasi adalah suatu gerakan yang dilakukan bersama untuk menyatakan “protes” penolakan terhadap kebijakan.
Latar Belakang Terjadinya Demo
Latar belakang demo tidak bisa lepas dari pembentukan imeg oleh kampus. Philip Kotler dalam Topor menyatakan bahwa Image Is Power. Citra yang positif merupkan aset yang sangat berharga di pasar (market place)9. Pembentukan citra memang langkah awal untuk menarik simpati. Akan tetapi ketika antara pembentukan citra dan realitas berbeda maka akan terjadi kontradiksi. Kasus yang terjadi di Uin merupakan imbas dari pembentukan imej yang menarik. Sementara kasus di dalam kampus tidak seperti apa yang dicitrakan.
Dengan begitu, satu hal yang perlu dipahami sehubungan dengan terbentuknya sebuah citra perusahaan (kampus) adalah adanya presepsi (yang berkembang dalam benak pablik) terhadap realitas (yang muncul dalam media)10.
Dalam setiap kesempatan majalah Gemma kampus diposisikan adalah suatu perguruan tinggi yang sukses. Sementara hal yang berkenaan hak-hak mahasiswa seperti pelayanan yang tidak efektif tidak pernah disuarakan.
Semestinya kampus para penguasa harus siap melayani dan membela kepentingan rakyat11. Maka ketika mahasiswa (rakyat) melakukan penolakan atas kebijakan birokrasi kampus (pemerintah) selayaknya diterima oleh birokrasi tanpa mengenyampingkan kepintingan yang ada. Mahasiswa melakukan gerakan penolakan terhadap kebijakan karna kebijakan perlu dibahas dan dirembuk kembali, “Para birokrat kampus tidak pernah mengikutsertakan mahasiswa dalam pemenentukan kebijakannya” ungkap Anang ketua LKP2M. Mahasiswa dalam hal ini merupakan bagian dari realitas kampus yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, sebuah realitas bisa dipresepsikan berbeda oleh tiap individu, dan juga bisa dipresepsikan berbeda oleh anggota pablik yang berbeda12.
Sementara GAM (Gerakan Aksi Mahasiswa) seperti diliris oleh buletetin Patriotik adalah sebuah gerakan mahasiswa yang berasaskan kebersamaan. Gerkan “demonstari” muncul sejak diberlakukannya jam malam. Pada umumnya seluruh semua “mahasiswa” UKM menolak terhadap pemberlakukan jam malam tersebut karna jam malam mempersulit bagi pengurus UKM untuki melakukan pengkaderan.
Kemudian dengan diberlakukannya jam malam tersebut mahasiswa UKM khususnya melakukan kordinasi mengklarifikasi kembali terhadap kebijakan jam malam tersebut. Bahkan BEM U (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas) mengeluarkan surat somasi, yang isinya adalah meninjau ulang aturan jam malam dan memenuhi semua fasilitas OMIK (Organisasi Mahasiswa Intra Kampus)13.
Kemudian untuk menindak lanjuti somasi tersebut mahasiswa tidak hanya berhenti dan diam mereka melakukan kordinasi kembali.
Sebelum mahasiswa melakukan aksi demonstra di depan Rektorat. Mahasiswa dan para utusan UKM/OMIK sempat duduk bersama merundingkan masalah jam malam dengan bagian kemasiswaan tepatnya di sebelah barat jalan di kantor kemahasiswaan di gedung SC (sprot center).
Akan tetapi pertemuan itu tidak mengahsilkan kesepakatan apa pun buntu di tengah jalan.
Karna mahasiswa kecewa terhadap kemasiswaan yang kurang respek terhadap keluhan mahasiswa. Kemudian setelah itu “mahasiswa” seluruh anggota OMIK menduduki SC sampai jam sebelas malam. Pada kesempatan As’ad Al Masruri, Presiden BEM U meminpin dialok antara OMIK, “Sebenarnya masalah yang kita rasakan bukan hanya kita yang merasakan seluruh kampus di Indonesia mengeluh hal yang sama” As’ad menegaskan kepada seluruh yang hadir pada saat itu.
Salah satu mentri luar negeri Koming mengatkan “kita harus tetap pada kesepakatan kita menolak terhadap kebijakan Rektor Imam, karna kebijakan itu sangat dirasa tidak manusiawi dan malah memfakumkan krearifitas mahasiswa, disini juga preseden selaku tombak kekuatan kita harus dan wajib mendampingi kita.
Sebelum terjadi kordinasi dan dialok dengan pengurus OMIK anggota “mahasiswa” sempat diambrak dan tengkar mulut dengan satpam dan sempat terjadi tarik menarik dengan petugas. Dan seluruh yang hadir pada malam itu untuk membumbuhi tanda tangan yang disodorkan oleh petugas satpam.
Semenjak itu lah pertikaian kecil dengan petugas “kampu” telah terjadi. Sebenarnya pertikaian yang terjadi itu merupakan ketimpangan antra imeg yang ditonjolkan dengan realitas di lapangan.
Menurut Soejono, pertikaian adalah suatu bentuk dalam interelasi social di mana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengeyahkan yang lain yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedan pendapat antara pihak-pihak tersebut14. Dalam hal ini dapat kita tarik pada fenomena yang ter jadi di Uin di mana mahasiswa melakukan reaksi penolakan pada kibijan. Penolakan itu merupakan sebuah indikasi ketidak setujuan di mana ketidak setujuan itu mengarah pada sebuah tindakan menjatuhkan kepeminpinan.
Kasus Trisakti dan Semanggi pada tahun 1999 yang dimotori oleh mahasiswa dan LSM merukan sebuah pergolakan sosial yang besar. Pergerakan mahasiswa dikarnakan oleh kondisi social masyarakat pada saat itu semakin terpuruk. Pada masa orba banyak refresi yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu. Korupsi (KKN) terjadi di mana-mana.
Sedangkan tujuan dari pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa menuntut hak-hak rakyat untuk dikepankan. Sementara pada masa itu masih fanatik pada golongan. Ketika ada ketidak adilan dalam sebuah tatanan maka akan terjadi penolakan-penolakan.
Sementara kasus demonstarasi yang dilakukan oleh mahasiswa UIN merupakan reaksi penolakan terhadap kebijakan jam malam. Karna jam malam mempersulit pengakaderan. Seperti direlis oleh Majalah UAM INOVASI Daifit Fatkhurrahman ketua Umum UKM Seni Relegius 2007, mengatakan “ kerepotan sekali untuk melakukan pengkaderan anak baru, apalagi mereka harus mengikuti PKPBA sampai jam delapan malam. Hanya ada sabtu sore, itu pun tidak maksimal, biasanya banyak yang pulang. Kalua ditempat dulu kita bisa latihan setelah anak-anak pulang PKPBA sampai jam sepuluh malan15.
Menurut soerjono soekanto menjelaskan bahwa pertentangan adalah suatu peruses social di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan16. Fenomena yang terjadi pada (4/6/2008) merupakan pergolakan social dalam sekop kampus.
Pada satu sisi aksi demonstrasi bertujuan untuk mewujudkan cita-cita UKM agar gerak lajunya diberi ruang yang layak. Karna peraturan jam malam dinilai oleh seluruh anak UKM tidak mendidik, justru mematikan kreatifitas yang diretas oleh masing-masing UKM.
Menurut salah anggota BEM Komang “kalau kampus “Birokrasi” menerapkan jam malam dengan alasan menghindari hal yang tidak diinginkan sebanarnya tidak harus mematikan kreatifitas mahasiswa yang lain”. Dia mencohtan seorang bapak/ibu mempunyai dua atau tiga anak, kemudian salah satu anaknya melakukan sina, apakah anak yang lain akan dikenakan sangsi karna kesalahan salah satu anak itu, kan tidak adil, begitu pun dikalngan OMIK semestinya semua OMIK tidak pukul rata dengan mengeluarkan kebijan peraturan yang tidak akademis samasekali. Seharusnya kampus menambah perseonil keamanan dan menegakkan disiplin yang tinggi tanpa harus mematikan kereatifatas mahasiswa.
Ada sebuah selogan Power tends to corrupt, absolute power corrups absolutely (kekuasan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak kurupnya pun mutlak pula). Oleh sebab itu, tokoh kita (peminpin) harus pula menegakkan nilai-nilai mulia17. Dalam buku pencegahan korupsi dijelaskan bahwa korupsi tidak hanya berupa tertuju pada materi “uang” akan tetapi menghilangkan hak-hak yang semestinya dirasakan oleh orang juga adalah korupsi.
Mungkin dalam lingkungan kampus UNI tindak korupsi berupa uang tidak ada, akan tetapi mengenai waktu, mungkin hal itu harus dipahami bersama.
“Aksi mahasiswa yang mengatasnamakan GAM (gerakan Aksi Mahasiswa) terhadap kebijakan-kebijakan rektorat di kampus UIN Malang pekan lalu, menjadi titik kulminasi kekecewaan mahasiswa pada kinerja birokrat. Kejadian itu tentunya mengisyaratkan lemahnya sistem pemerintahan yang ada di RM UIN Malang, dan lemahnya peran aktif para birokrasi terhadap rakyatnya dalam hal ini mahasiswa.
Perlindungan kampus
Ketika sebuah kampus dipilih sebagai wadah pengembangan akademik pendidikan, ada konsekuensi yang harus diletakan sebagai dasar, konsekuensi itu adalah sebuah kampus berdiri atas dan untuk kepentingan rakyat (Mahasiswa). Dengan demikian ia semata berdiri untuk melindungi tercapainya hak-hak dan kewajiban rakyatnya termasuk kesejahteraan dan hak asasi di dalamnya.
Dengan dasar itu sebuah kampus diberi wewenang untuk menggunakan wewengan (kekuasaan legal) terhadap perkembangan dan pertumbuhan kampus itu sendiri, akan tetapi dalam hal ini kampus dituntut untuk bersikaf bijak dalam menggunakan wewenagnya agar kemudian tidak ada yang merasa dirugikan baik masyarakat, dosen, rektor maupun mahasiswa.
Sayangnya pelbagai kejadian yang sering muncul di dalam kampus, baik mengenai kebijakan-kebijakan, ataupun hal lainnya, sering kali mendapat respon yang negative dari perorangan ataupun kelompok tetentu. Hal ini tentunya lebih mencerminkan pada lemahnya sistem yang ada. dan terabaikannya keselamatan dan kesejahteraan mahasiswa karna ketidak tegasan peran birokrasi dalam mengawal mahasiswa. Lebih dari itu diskriminasi perlakuan yang ditujukan aparat birokrasi kepada kelompok-kelompok masyarakat (mahasiswa) telah menimbulkan pertanyaan akan keberpihakan aparat.
Perilaku ricuh yang dilakukan oleh berbagai organ mahasiswa seringkali tidak mendapat reaksi atau ransangan yang responsive dari pihak birokrasi kampus. Sebaliknya aksi mahasiswa sering kali mendapat kawalan ketat dan perlakuan keras . misalnya kasus bentrokan di Universitas Nasional di Jakarta pekan lalu.
Jika pada masa pemerintahan Orde baru sorotan atas isu kekerasan lebih banyak ditujukan kepada Negara sebagai pelaku, maka tren yang berkembang paska reformasi adalah ditujukan kepada komunal antar kelompok masyarakat.
Pada periode Orde Baru kontrol atas Negara lemah, Negara menjadi begitu kuat sehingga tak ragu menggunakan kekerasan untuk menciptakan stabilitas. Setelah runtuhnya rezin orba, control terhadap Negara diperkuat namun ditengah posisi seperti ini, Negara terpojok ke posisi lemah dalam mengendalikan berbagai kemplek kekerasan yang berkembang
Tidak hanya itu, sejuml;ah organ acap kali melakukan aksi-aksi yang seharusnya menjadi tanggung ajwab Negara hal ini menjadi simbolisasi dari bentuk ketidak percayaan publik kepada negaranya18.
Sebab-sebab Terjadinya Bentrok Mahasiswa (GAM) Dengan Petugas.
Pengalangan massa GAM, 4/6/2008 dilakukan di samping Masjid Tarbiyah tepat di dekat Menara. Awalnya terlihat hanya sekitar 5-6 orang. Kemudian masing-masing dari keenam orang tersebut bergegas maju ke utara melewati belakang Masjid menuju Mahad putra. Dari situlah kemudian massa semakin bertam. Sambil menyuarakan yel-yel dari masing-masing terus mengajak satu teman pad teman yang lain.
Setelah selesai mengajak santri permabna kemudian mereka merapikan barisan. Ada salah seorang yang memberi pembatas para pendemo. Pendemo dimasukkan dalam gari tali raffia. Setelah itu mereka terus meneriakkan yel-yel “hidup mahasiswa …. hidup mahasiswa 2x” dan berarak meju ke arah selatan melewati belakang gedung perpus. Kemudian berjalan sambil tetap menyuarakan yel-yel. Sesekali mengajak simpati mahaiswa untuk bergabung. Kemudian tepat di depan SC semua rombongan berhanti dudu bersama sambil membacakan doa bersama.
Salah satu diantara mereka masuk ke dalam SC untuk mengajak teman yang lain. Setelah usai membacakan doa bersama kemudian para pendemo bergerak kea rah timur melewati gedung B. Tepat di depan gedung B rombongan berhenti dan mensuiping kelas-kelas untuk ikut berdemo.
Sambil menyanyikan lagu Indonesia raya, salah satu dari orator memecah suara “yang merasa mahasiswa turun” kemudian ditirukan “Turun… turun turun turun”.
Kemudian aksi dilanjutkan di depan gedung rektorat. Para pendemo sempat kecewa. Birokrasi tidak cepat menemui para pendemo. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Sambil melakukan orasi dan meminta para birok rasi untuk menemui dan menanggapi tuntutan mereka.
Sayogo menegaskan bahwa masa depan bangsa ini sekarang berada di tangan generasi pemuda19. Mahasiswa sebagai agen of cange bisa menunjukkan bahwa mereka memiliki hak. Dan yang melekat pada diri mereka mesti diapresiasi.
Akan tetapi ketika reaksi yang dilakukan oleh mahasiswa ditafsiri nigatif maka apa yang dilakukan oleh mereka seakan menjadi kesia-sian. Seperti beberapa media melangsir mahasiswa melakukan anarki dalam melakukan/ menyuaran aspirasinya.
Seperti diungkapkan Anang “bahwa apa yang diberitakan oleh media “mahasiswa bertindak anarkis” padahal tidak seperti itu justru pihak keamanan yang terlalu berlebihan, seandainya teman kita tidak disekap/ segera dilepaskan pada saat itu itu tidak akan terjadi, Lagi pula anak-anak pada saat itu meminta pada birokrat untuk menginjinkan kita semua, tapi apa yang terjadi, birokrat semua di gedung mengah itu, kami ingin masuk secara damai beristigasyah bersama.
Menurut Koming “pecahnya pintu kaca Rektorat itu adlah tidak disegaja, dan itu pun bukan karna mahasiswa tapi karna terjadi desak-desakan. Tindakan mahasiswa terjadi prokontra dikalangan dosen dan mahasiswa, ada sebagian dosen setuju dengan tindakan mahasiswa ada yang tidak begitu pun dengan mahasiswa.
Kalau kita tarik apa yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan bagian kecil dari konflik social. Fenomena konflik bukanlah hal baru, ia merupakan fenomena purba, sama purbanya dengan sejarah manusia itu sendiri20. Selama ribuan tahun manusia berusaha memecahkan dan mencari jalan keluar dari persenggetaan di antara mereka sendiri, hasilnya ialah tumpukan buku-buku di perpustakaan.
Ada orang yang melihat kenyataan konflik dengan presepsi yang sangat bersahaja, yaitu melepaskan emosi dan vested interest-nya dari peristiwa yang terjadi, melampaui kepentingan-kepentingan pragmatis, dan memasuki dunia batin yang dianggap lebih penting dari konflik itu sendiri21.
Gejala konflik tidak bisa terlepas dari perasaan dan emosi. Perasaan (feeling) dan emosi (emotian) merupakan dua keadaan yang bersifat sementara dalam kehidupan individu. Keduanya merupkan integral dari keseluruhan aspek psikis individu (manusia). Namun emosi mempunyai arti yang agak berbeda dengan perasaan. Emosi lebih kompleks dibandingkan perasaan. Dengan kata lain perasaan bagian dari emosi. Emosi dapat didefinesikan sebagai suatu perasaan yang timbul melebihi batas sehingga kadang-kadang tidak dapat menguasai diri dan menyebabkan hubungan pribadi dengan dunia luar menjadi putus22.
Ketika sebuah perasaan itu amat peka terhadap gejala social. Sehingga rentan memicu konflik. Pada dasarnya apa yang terjadi pada GAM pada saat itu merupakan suatu hal yang bisa diantisipasi secara arif pada saat itu. Akan tetapi ketika sebuah antisipasi yang dilakukan oleh birokrat menyekap salah satu peserta demo hal itu yang justru memicu timbulnya perasaan emosi. Karana pada gerakan itu terbangun sebuah roh kebersamaan.
Massa GAM meneriakan suara kebersamaan yang pada intinya melindungi satu dengan lainya. Muncullah sebuah emosi. Perasaan tidak rela teman disekap. Hawatir terhadap perampasan KTM.
“Birokrasi sengaja membentrokkan satpam dengan mahasiswa ” teriakan itu dilontarkan oleh Andre, salah seorang perangkat aksi demonstrasi yang terjadi rabu pagi kemarin. Dia berteriak-teriak dari samping barisan yang mulai berdudukan di depan rektorat, jumlahnya kira-kira 300-an.
Sebelumnya masa berkumpul di depan masjid At-Tarbiya dengan masa yang minim. Massa kemudian mencari dukungan dari mahasisiwa lain dengan melakukan konfoy keliling area kampus, mulai dari kawasan Ma ’ had, perkantoran, hingga kawasan perkuliahaan. Ketika hendak memasuki area rektorat, massa dihadang sekompok satpam yang hedak mengalihkan mereka menghindari pelataran rektorat. Tetapi dengan sedikit bentrokan dan saling dorong, dan karena satpam kalah jumlah, akhirnya massa bisa menembus barikade satpam. Dalam sesi orasi awal, andre kambali menegaskan kepada massa bahwa satpam yang sedang dihadapi di depan mereka adalah sahabat mahasiswa, mereka bukan preman. Mereka hanya sebagai pegawai yang digaji oleh majikannya, dan harus menuruti segala perintah majikannya.satpam juga mempunyai anak dan istri yang perlu dihidupi.
Beberapa satpam siaga mengamankan lokasi demonstrasi, umumnya mereka berjaga-jaga di depan pintu utama rektorat, menahan demonstran agar tidak merangsak masuk, juga berjaga-jaga di seputar mobil mewah para birokrat yang belakangan diefakuasi sopirnya. Jumlah mereka bisa dihitung dengan jari, sedangkan bertanggaung jawab mengamankan aksi ratusan demonstran. Hal yang paling mendasar yang harus disadari oleh mahasiswa adalah dengan siapa kita harus berhadapan dan melampiaskan tuntutannya. Yang harus kita paksa untuk keluar adalah jajaran birokrasi yang lebih berkuasa yang menjadibiang keladi permasalahan.
Birokrasi telah semena-mena membuat kebijakan yang mengebiri kreatifitas mahasiswa, yang telah menyimpan tranparansi-baik transparansi dana maupaun transparansi kebijakan-di dalam peti besi dan menguburnya dalam-dalam di bawah lantai kantor rektorat. Hingga tak seorangpun mempuyai hak untuk mengetahui segala hal tentang kebijakan kampus, dan tidak diberi keleluasaan untuk menyapaikan aspirasi dan pendapat. Sekali lagi, birokrasi yang pada dasarnya harus kita lawan, dan kita dudukkan untuk menyetujui tuntutan cerdas mahasiswa, dan untuk menemukan jalan keluar yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan satpam.mereka hanya pegawai yang tidak tahu akar permasalahan yang ada. Mereka berada dalam krisis dua kubu yang masing-masing
Mempunyai kehendak yang harus diperjuangkan. Satpam erada dalam situasi dilematis, mereka terjepit diantara dua kubu itu. Menreka hanyamenjalankan tugas untuk mendapatkan gaji di akhir bulam, dan gaji tersebut mereka gunakan untuk menghidup keluarga di rumah. Satpam menjadi korban benturan dua kubu.
Mereka terperangkap dalam situasi yang penuh emosi karena mahasiswa sudah sangat geram dengan tingkah laku birokrasi dengan kebijakan-kebijakan tidak adil. Kebijakan yang tanpa memperhitungan yang matang, dan tanpa melibatkan mahasisiwa di dalalmnya. Mahasiswa seolah wajib mempunyai nalar kritis karena mereka adalah “ Agen Of Change ” memang sangat berpotensi untuk merubah ketimpangan-ketimpangan di sekitar mereka, dan sangat bersemangat untuk sesegera mungkin menyelesaikan permasalahan yang menggelayuti pikiran mereka. Tetapi sekikap emosional adalah masalah besar dalam aksi-aksi yang bertujuan mulya.
Sekali terprovokasi, kericuhan akan terjadi karena hilangnya kendali komando. Kemudian mereka lupa tujuan aksi sebenarnya, sehingga satpam menjadi pelampiasan emosi mahasiswa karena dianggap sebagai penghalang aksi. Pada hakekatnya, mahasisiwa tidak pernah anarkis.
Kata anarkis adalah bahasa yang dimunculkan media semata-mata untuk menghiperbola situasi. Media memang sangat mempertimbangkan nilai jual dan pangsa pasar. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi lebih tepat disebut sebagai kericuhan yang memang tidak terkoordinir dengan sempurna.
Mahasiswa selalu beriktikad baik dengan melakukan aksi damai. Kasus pecahnya apintu kaca utama rektorat adalah akibat dari kekecewaan mahasiswa atas respon negates yang diberikaan oleh birokrasi. Birokrasi tidak menanggapi secara serius tuntutan mahasiswa, buktinya dengan tidak mau menandatangani surat perjanjian yang diajukan mahasiswa. Tetapi pertanyaanya, mengapa yang harus menjadi objek utama emosi mahasiswa adalah aparat satpam? 23.
Seperti yang dinyatakan sebelum ini, mestilah difahami dalam peristilahannya sendiri. Dalam mengatakan demikian bukanlah bermakna bahawa kita bersetuju dengan penggunaan satu bentuk ukuran umum bagi menilai sesuatu. Ukuran tersebut tersebut mungkin merangkumi jangka hayat, keluaran negara kasar (gross national product), hak demokrasi, kadar celik huruf, dan sebagainya. Tidak berapa lama dahulu satu amalan yang sering dilakukan oleh masyarakat Eropah ialah menilai masyarakat di luar Eropah mengikut peratusan penduduknya yang memeluk agama Kristian. Seandainya peratusan itu tinggi maka tinggilah kedudukan negara tersebut mengikut kayu ukuran yang digunakan. Penilaian terhadap manusia seperti yang dilakukan itu sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan pendekatan antropologi. Oleh itu, jika kita ingin menilai mutu hidup dalam sesebuah negara atau masyarakat luar, kita mestilah terlebih dahulu memahami masyarakat itu dari dalam; jika tidak penilaian yang kita buat itu mempunyai nilai ilmiah yang sangat terbatas. Apa yang dianggap sebagai ‘gaya hidup yang baik’ dalam masyarakat Eropah misalnya, tidak semestinya menarik dan sangat-sangat dikehendaki jika dinilai dari sudut dan kedudukan masyarakat lain. Bagi memahami erti sebenar kehidupan sosial sesuatu masyarakat, maka sangat perlu untuk kita cuba mendalami terlebih dahulu bagaimana alam nyata sesuatu masyarakat difahami dan dirasai sendiri oleh ahli-ahlinya. Untuk berjaya dalam usaha ini, maka tidak memadai jika kita hanya memilih beberapa ‘angkubah’ sahaja. Ternyata bahawa penggunaan konsep seperti ‘pendapatan tahunan’ tidak sesuai sama sekali bagi sebuah masyarakat yang tidak mengenali mata wang serta tidak tahu akan kaedah kerja yang diupah dengan uang.
Penghujatan seperti di atas boleh lah dianggap sebagai amaran awal terhadap etnosentrisme. Istilah tersebut berasal daripada perkataan Yunani (ethnos bermaksud ‘orang’) Etnosentrisme membawa maksud bahawa kita menilai masyarakat lain daripada kaca mata kita sendiri, serta memperihalkan mereka dalam peristilahan kita. Dengan demikian, ciri-ciri ethnos yang ada pada diri kita, termasuk nilai budaya kita, dijadikan kayu ukur dalam penilaian tersebut. Justeru itu tidak hairanlah jika orang lain atau masyarakat asing kelihatan begitu rendah taraf sosial dan budaya mereka jika dipandang dari kaca mata ethnos kita. Misalnya jika kita mendapati bahawa di kalangan masyarakat Nuer kemudahan pinjaman untuk membeli rumah daripada institusi kewangan sukar diperolehi, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa masyarakat Nuer tidaklah sesempurna masyarakat kita. Jika kita mendapati bahawa kemudahan bekalan elektrik tidak terdapat di kalangan orang Kwakiutl di pantai barat Amerika Utara, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa cara hidup orang Kwakiutl itu tidak sejahtera berbanding dengan cara hidup kita. Jika sekiranya orang Kachin di sebelah utara Myanmar menolak agama Kristian, maka kita tidak boleh menganggap bahawa orang Kachin tidak bertamadun. Jika sekiranya orang San (kaum Bushmen) di gurun Kalahari buta huruf, maka kita tidak boleh terus menyatakan bahawa mereka itu tidak pintar. Jika sekiranya kita terus menerus mempunyai pandangan berunsur etnosentrisme, maka ternyata bahawa kita sama sekali tidak memberikan sebarang peluang bagi orang lain untuk mempunyai sebarang perbezaan dan hidup dalam persekitaran sosial dan budaya yang berlainan24.
Sebuah komonitas yang di dalam terdiri dari banyak ragam dan fareabel kepentingan menuntut adanya sebuah pengakomodasian yang maksimal dan efektif. Suara mereka (mahasiswa) dalam hal ini harus benar-benar diberi ruang dan yang baik. Keselahan pada 4/6/2008 merupakan hal yang semestinya tidak terjadi.
Kekecewaan mahasiswa pada saat aksi 10/06/2008. di mana Imam Supra Yogo selaku penentu kekuasan tidak segera menemui pada demonstran.
Solusi Permasalahan
Orang bijak mengatakan “tidak ada persoalan yang tidak dapat diselesaikan di dunia ini” ungkapan tersebut memang ada benarnya. Akan tetapi terkadang dalam penyelesaian “persoalan” banyak orang yang terjebak pada nilai-nilai pristise “super ego” sehingga dalam menyelesaikan persoalan cenderung dengan kekerasan.
Perisriwa 10/06/2008 merupakan fenomena yang bisa terjadi di mana saja. Dalam analis sosila sebuah konflik merupakan hal yang penting untuk menuju keseimbangan. Dalam ranah demokrasi, konflik sangat diperlukan.
Akan tetapi di sini perlu ditekan-kan konflik bukan berarti perpecahan “kekerasan” konflik merupakan dinamika sosial yang mengarah pada kesetabilan. Mengedepankan asas kebersamaan sehingga nantinya dari konlfik akan terbentuk penyatuan konsep ide.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam penyelesai sebuah konflik diantaranya sebagai berikut :
Dialog
Keterbukaan
Tidak mengedepankan emosional
Saling menghargai
Atbitrasi
Sebuah persoalan dapat diselesaikan melalui dialog. Karna dengan adanya sebuah dialog persoalan “konflik” dapat diselesaikan dengan bijak. Dalam hal ini dialok mesti dibiasakan dalam sebuah persoalan. Belakangan ini dialok masih belum dibisakan, sehingga dalam sebuah keputusan sering berakhir ricuh yang berujung pada kekerasan.
Sifat keterbukan selaknya dibiasakan dalam hal apa pun “positif” karna dengan begitu akn tercipta sebuah akselrasi dan menghindari pertikaian. Pola sifat keterbukan harus dibumikan dan ditradisikan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian dari keterbukaan itu diharapkan adanya rasa simpati “saling menghargai” dalam perbedaan.
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :
pencarian pemuasan psikis
kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultura25.
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia26.
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Aksi mahasiswa yang mengatasnamakan GAM (gerakan Aksi Mahasiswa) terhadap kebijakan-kebijakan rektorat di kampus UIN Malang pekan lalu, mereupakaan kekecewaan mahasiswa pada kinerja birokrat. Kejadian itu tentunya mengisyaratkan lemahnya sistem pemerintahan yang ada di RM UIN Malang, dan lemahnya peran aktif para birokrasi terhadap rakyatnya dalam hal ini mahasiswa.
Sedangkan demonstrasi adalah unjuk rasa; tindakan bersama untuk menyatakan protes. Protes kersas tentang ketidak adilan atau penyelewengan dilakukan dengan banyak orang desertai poster dan yelyel.
Latar belakang demo tidak bisa lepas dari pembentukan imeg oleh kampus. Philip Kotler dalam Topor menyatakan bahwa Image Is Power. Citra yang positif merupkan aset yang sangat berharga di pasar (market place).
Menurut Soejono, pertikaian adalah suatu bentuk dalam interelasi social di mana terjadi usaha-usaha pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain, atau berusaha mengeyahkan yang lain yang menjadi rivalnya. Hal ini terjadi mungkin karena perbedan pendapat antara pihak-pihak tersebut.
Tujuan dari pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa menuntut hak-hak rakyat untuk dikepankan. Sementara pada masa itu masih fanatik pada golongan. Ketika ada ketidak adilan dalam sebuah tatanan maka akan terjadi penolakan-penolakan.
Sementara kasus demonstarasi yang dilakukan oleh mahasiswa UIN merupakan reaksi penolakan terhadap kebijakan jam malam. Karna jam malam mempersulit pengakaderan. Seperti direlis oleh Majalah UAM INOVASI Daifit Fatkhurrahman ketua Umum UKM Seni Relegius 2007, mengatakan “ kerepotan sekali untuk melakukan pengkaderan anak baru, apalagi mereka harus mengikuti PKPBA sampai jam delapan malam. Hanya ada sabtu sore, itu pun tidak maksimal, biasanya banyak yang pulang. Kalua ditempat dulu kita bisa latihan setelah anak-anak pulang PKPBA sampai jam sepuluh malan.
Menurut soerjono soekanto menjelaskan bahwa pertentangan adalah suatu peruses social di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan.
Gejala konflik tidak bisa terlepas dari perasaan dan emosi. Perasaan (feeling) dan emosi (emotian) merupakan dua keadaan yang bersifat sementara dalam kehidupan individu. Keduanya merupkan integral dari keseluruhan aspek psikis individu (manusia). Namun emosi mempunyai arti yang agak berbeda dengan perasaan. Emosi lebih kompleks dibandingkan perasaan. Dengan kata lain perasaan bagian dari emosi. Emosi dapat didefinesikan sebagai suatu perasaan yang timbul melebihi batas sehingga kadang-kadang tidak dapat menguasai diri dan menyebabkan hubungan pribadi dengan dunia luar menjadi putus.
Apa yang dianggap sebagai ‘gaya hidup yang baik’ dalam masyarakat Eropah misalnya, tidak semestinya menarik dan sangat-sangat dikehendaki jika dinilai dari sudut dan kedudukan masyarakat lain. Bagi memahami erti sebenar kehidupan sosial sesuatu masyarakat, maka sangat perlu untuk kita cuba mendalami terlebih dahulu bagaimana alam nyata sesuatu masyarakat difahami dan dirasai sendiri oleh ahli-ahlinya. Untuk berjaya dalam usaha ini, maka tidak memadai jika kita hanya memilih beberapa ‘angkubah’ sahaja. Ternyata bahawa penggunaan konsep seperti ‘pendapatan tahunan’ tidak sesuai sama sekali bagi sebuah masyarakat yang tidak mengenali mata wang serta tidak tahu akan kaedah kerja yang diupah dengan uang.
Penghujatan seperti di atas boleh lah dianggap sebagai amaran awal terhadap etnosentrisme. Istilah tersebut berasal daripada perkataan Yunani (ethnos bermaksud ‘orang’) Etnosentrisme membawa maksud bahawa kita menilai masyarakat lain daripada kaca mata kita sendiri, serta memperihalkan mereka dalam peristilahan kita. Dengan demikian, ciri-ciri ethnos yang ada pada diri kita, termasuk nilai budaya kita, dijadikan kayu ukur dalam penilaian tersebut. Justeru itu tidak hairanlah jika orang lain atau masyarakat asing kelihatan begitu rendah taraf sosial dan budaya mereka jika dipandang dari kaca mata ethnos kita. Misalnya jika kita mendapati bahawa di kalangan masyarakat Nuer kemudahan pinjaman untuk membeli rumah daripada institusi kewangan sukar diperolehi, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa masyarakat Nuer tidaklah sesempurna masyarakat kita. Jika kita mendapati bahawa kemudahan bekalan elektrik tidak terdapat di kalangan orang Kwakiutl di pantai barat Amerika Utara, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa cara hidup orang Kwakiutl itu tidak sejahtera berbanding dengan cara hidup kita. Jika sekiranya orang Kachin di sebelah utara Myanmar menolak agama Kristian, maka kita tidak boleh menganggap bahawa orang Kachin tidak bertamadun. Jika sekiranya orang San (kaum Bushmen) di gurun Kalahari buta huruf, maka kita tidak boleh terus menyatakan bahawa mereka itu tidak pintar. Jika sekiranya kita terus menerus mempunyai pandangan berunsur etnosentrisme, maka ternyata bahawa kita sama sekali tidak memberikan sebarang peluang bagi orang lain untuk mempunyai sebarang perbezaan dan hidup dalam persekitaran sosial dan budaya yang berlainan.
SARAN-SARAN
Uraian di atas masih jauh dari kesempurnaan maka kami mohon keritik dan saran, khususnya dosen pembimbing, demi kesempurnaan makalah ini. Hidup adalah proses dan membutuhkan keberanian, sedang keberanian itu tidak akan ada tanpa adanya latihan. Kehidupan butuh semangat dan percaa diri agar apa yang kita kerjakan memberi kepuasan.
Daftar Pustaka
Abdulsyani 2002 Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan PT Bumi Aksara Jakarta
Jurnal el-harokah 2007, Januari Vol.9,No1 Jurnal Studi Islam dan Kebudayaan Universitas Islam Negeri Malang
Pius A Partanto M. Dahlan Al Barry 1994 KAMUS ILMIAH POPULER Penerbit “ARKOLA” Surabaya
KAMUS HAHASA INDONESIA Tim bahasa pustaka agung harapan …… CV Pustaka Agung Harapan
Jurna ULUL ALBAB. 2005. Vol.6 No 1 Jurnal Studi Islam, Sain dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang
Buletin Mahasiswa PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif Juni 2008. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” UAPM INOVASI Universitas Islam Negeri Malang
Wasesa, Silih Agung, 2005. Strategi Public Relations, PT Gramedia Pustaka utama Anggota IKAPI
KOMPAS 2008, 28 Juni Tugas Cendiakiawan Mencari Kebenaran,
Thaha Idris Februari 2005. DEMOKRASI RELEGIUS TERAJU PT Mizan Publika Jakarta
Majalah Mahasiswa UAPM INOVASI 2008 Merayakan Apnormalitas Edisi XXIV Maret- Juli Universitas Islam Negeri Malang
Majalah GATRA 2004. Hajatan Demokrasi Muslim Indnesia No 1-2 tahun XI 27 November, PT Era Midia Informasi.
al. et. Dr. Nurcholish Madjid, 2002. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern PT MEDIACITA, Jakarta.
http://smallbusiness.yahoo.com, Albykazi , Abu Yahya Rizki Ibn Heru , 2008 Teori Fungsional - Struktural. Senin, Maret 03
Baharuddin, H. 2007. Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. AR-RUZZ MEDIA GROUP.
Ismail , Mohamed Yusoff, 2001. Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya. www. goggle. co.id
1 PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” Juni 2008
2 Syamsuddin Budaya tawur di Indonesia El- harokah Jurnal Studi Islam dan Kebudayaan Vol.9, No.1, Januari-April 2007 halaman 31
3 Opcet halaman 31
4 Tim bahasa pustaka agung harapan KAMUS HAHASA INDONESIA hlm 336
5 Op cet halaman 335
6 Op cet halaman 475
7 Pius A Partanto M. Dahlan Al Barry KAMUS ILMIAH POPULER hlm 100
8 Op cet halaman 132
9 Sugeng Listyo Prabowo ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, Sain dan Teknologi Vol.6 No 1 tahun 2005 hlm 160
10 Silih Agung Wasesa STRATEGI PUBLIC RELATIONS hlm.13
11 Idris Thaha DEMOKRASI RELEGIUS hlm. 235
12 Silih Agung Wasesa STRATEGI PUBLIC RELATIONS hlm.13
13 INOVASI EDISI XXIV MARET- JULI 2008 hlm 59
14 Abdulsyani Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan hlm 158
15 INOVASI EDISI XXIV MARET- JULI 2008 hlm 58
16 Opcet. hlm 158
17 Majalah GATRA No 1-2 tahun XI 27 November 2004 hlm 114
18 Buletin PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” Juni 2008
19 KOMPAS Tugas Cendiakiawan Mencari Kebenaran, Sabtu 28 Juni 2008 hal 1-15
20 Dr. Nurcholish Madjid et. al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. hlm 14
21 Opcet. hlm 14
22 Drs. H. Baharuddin, M.Pdi, Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena, 2007 hal I138
23 Buletin PATRIOTIK Penyalur Lidah Mahasiswa Kritis, Progresif. GAM, “KEBANGKITAN MAHASISWA” Juni 2008
24 www. goggle. co.id. Mohamed Yusoff Ismail, Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya.
25 http://smallbusiness.yahoo.com, Abu Yahya Rizki Ibn Heru Albykazi Teori Fungsional - Struktural. Senin, Maret 03, 2008
26 Op cet smallbusiness.yahoo.com