Minggu, 21 September 2008

ALOKASI DANA PRAKTIKUM DARI MAHASISWA UNTUK SIAPA !!!!!!!!

OLEH : Mahmudi
Mustaqim, "Uang praktikum yang kita bayarkan sebanarnya dikemanakan?".
Iza, "ya kita membayar uang praktikum tapi kita tidak pernah ada praktikum".
Udi "Makanya jangan Cuma diem saja jika kita selama ini dibohongi".
Vera & Toni "Tapi disini kan Lembaga Islam, yang mengedepankan Ululul Albab", ulul albab dari hongkong, mana bisa kita menjadi ulul albab kalau kita selalu dibohongi, dan tidak pernah melakukan praktikum".
(Celometan mahasiswa-mahaisiswi)
Seperti diliris M. Ja'far Nashir penulis artikel PERKEMBANGAN TEORI MANAJEMEN PENDIDIKAN, bahwa LPT (Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi) merupakan suatu wadah lembaga yang seharusnya mengantarkan manusia pada alur berfikir yang teratur dan sistematis dan Guru "dosen" bisa menempatkan posisinya sebagai fasilitator yang baik bagi mahasiswanya.
Fasilitator "Dosen" yang baik, ketika ia mampu memberikan yang terbaik kepada mahasisanya. Jika sebuah lembaga diumpakan pasar "usaha" maka selayaknya manajemen pun harus lebih mengedepankan kepentingan pangsa pasar "peserta didik", sedangkan dosen sebagai pelayan dituntut mampu memberikan kontribusi yang sesuai kebutuhan mahasiswanya. Seorang pelayan yang baik tidak akan pernah melakukan kecurangan terhadap konsumennya (mahasiswa).
Hal yang senada dinyatakan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang) mengelola pendidikan tinggi sama artinya dengan mengelola bisnis pada umumnya yang harus selalu menyesuaikan dengan tuntutan Customer-nya secara terencana, profesionalisme, fleksibel, berani mengambil resiko, dan kompetitif. Dikutip dari (Memelihara sangkar Ilmu. 2004:X)
Pernyataan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo di atas berdampak pada pengelolaan kampus. Dimana kampus hanya mengutamakan laba (profit). Perubahan setatus Uin menjadi BLU (Badan Layanan Umum) semakin memperkuat, kampus hanya mementingkat pendapatan sebesar-besarnya dari mahasiswa. Ketika perubahan setatus Uin menjadi BLU, tidak disertai pembenahan seperti kelengkapan praktikum maka perubahan itu hanya sebuah simbol di atas kertas. Dalam artian kampus hanya mementingkan kuantitas dari pada kualitas. Kualitas bukan tidak perlu akan tetapi harus ada keseimbangan antara kualitas dan kuantitas.
Perguruan tinggi sebagai usaha sadar dan direncanakan untuk mencetak mahasiswa agar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara yang sesuai dengan tri darma pendidikan seperti yang diutarakan M. Ja’far Nasir, masih dihadapkan pada persoalan ketersediaan sarana dan prasarana "Lab Praktikum", samapi pada saat ini masih belum terpenuhi.
Pemenuhan sarana dan prasarana "praktikum" merupakan kebutuhan yang harus diprioritaskan. Pengunaan Lab bersama seperti yang dikatakan oleh Moh. Yunus kajur IPs tidak akan efektif dan mahasiswa yang dirugikan. Saat ditanya kapan jurusan dapat memilki lab sendiri ketua jurusan tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, dalam artian mahasiswa untuk mendapatkan pelayanan fasilitas yang masih jauh dari harapan.
Kajur IPs menyayangkan keterbatasan dan pemakaian Lab bersama tapi menurutnya hal itu dilakukan karena di fakultas tarbiyah hanya memiliki satu Lab Micro Teaching , seharusnya di jurusan IPs sendiri harus memiliki Lab School dan Lab Pasar Modal sesuai prodi jurusan ekonomi dan pendidikan. Lab Micro Teaching yang ada di Tarbiyah sendiri masih kurang layak sebab desain bangunannya tidak sesuai yang diinginkan. menurut M. Fadil selaku kajur Tarbiyah. Hal itu dibenarkan oleh Marno selaku penanggung jawab Lab Tarbiyah, menurutnya desain bangunan yang disediakan oleh kampus tidak sesuai yang diharapkan terutama dalam desain lab itu sendiri sebab fakultas tidak ikut campur dalam pendesainan micro teaching karena semuyanya telah dikerjakan oleh kontraktor jadi pihak fakultas hanya bisa menerima bangunan yang telah jadi dan menempati sesuai instruktur dari pihak atas. Menurutnya kami hanya bisa memanfaatkan semaksimal mungkin fasilitas yang ada.
Ketika kebutuhan "Lab" kampus tidak bisa memenuhi dengan baik bagaimana dengan kapabilitas mahasiswanya. Sementara kemajuan dibidang ilmu pendidikan "teknologi" terus berkembang, ketika mahasiswa tidak bisa mengakses sesuai bidang yang ditempuh, bagainama hasil aut put mahasisnya mungkinkah mereka memiliki dedikasi yang baik dan bisakah mereka bersaiang dengan kampus lain-nya.
para pengelola kampus sekarang cenderung tidak mempersoalkan masalah praktikum, mereka lebih memprioritaskan pada penampilan fisik infrastuktur saja. sementara persoalan yang menunjang pada akademik kurang diprioritas secara khusus oleh kampus. disinyalir kampus sengaja mengabaikan dan lebih fokus pada penengembangan mahad saja. padahal mahad bukan prioritas, seharusnya yang menjadi prioritas adalah penunjang akademik sesuai jurusan yang diambil oleh mahasiswa

"Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius" ( Dr.Gunning, dikutip Langeveld, 1955).

Pada kutipan di atas secara garis besar menekankan bahwa perlu adanya pengintegrasian antara teori dan praktik "flow up" dari teori tersebut. Teori merupakan kerangka yang akan mengantarkan anak didik pada dedikasi yang lebih baik. Sedangkan aplikasi dari teori "praktik" merupakan alat ukur sejauh mana peserta didik mampu memahai materi yang disampaikan.

Praktikum selalu dikaitkan denagan Laboratoriom. Akan tetapi tidak semua praktek harus dilakukan "membutuhkan" laboratoriom. Hal senada dikatakan oleh M. Padil, M.Pdi kajur PAI "bahwa semua mata kuliah ada prakteknya, tapi tidak semua pratikum itu harus dilakukan di Lab" karena menurutnya sebuah teori tidak hanya untuk diketahui, untuk apa tahu teori tapi pada tataran prakteknya tidak bisa.

Pemahaman teori tidak menjamin seseorang bisa mengaplikasikan (mempraktekkan teori yang didapat) di lapangan. Mengetahui struktur teori memang perlu, akan tetapi pengaplikasian "praktek" dari teori tersebut merupakan hal yang paling urgen. Kesadaran dari mahasiswa akan pentingnya peraktikum masih minim. Penanggung jawab Lab Marno menegaskan "Bahwa mahasiswa kurang memiliki kesadaran akan pentingnya peraktikum, sehingga mahasiswa lebih banyak pasif dan senang ketika guru "dosen" tidak mengajar, padahal mahasiswa sendiri yang dirugikan".

Pernyataan Marno seharusnya membuka kesadaran mahasiswa dan dosen. Dosen selaku pengajar yang harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam mengembangkan mahasiswa/i dan memberikan seluas-luanya kepada mahasiswa untuk mengespresikan potensinya. Bukan malah menjadi contoh dengan sengaja meninggalkan tanggung jawab sebagai pengajar "Malas mengajar atau masuk kampus".

Berhasil tidaknya pembelajaran yang disampaikan oleh "dosen" dapat dilihat sejauh mana mahasiswa/i mampu mengaplikasikan dalam kerangka berfikir yang nyata. Oleh sebab itu Laboratorium sebagai penunjang terhadap pembelajaran merupakan hal yang sangat penting ". Selama ini instrumen yang disampaikan oleh dosen masih sebatas wacana, belum mampu membangkitkan nalar mahasiswa, kenyataan ini harus dijadikan tolok ukur, sebab banyak mahasiswa/i masuk kuliah bertujuan hanya sekedar mengisi absensi hal itu dapat dilihat dari respon mereka yang pasif.

Pernyataan kajur PAI bahwa "semua mata kuliah ada prakteknya" seharusnya tidak hanya sebatas wacana saja.pernyataan itu harus diimbangi dengan peran dosen dan para birokrasi sebagai penangung jawab terhadap kemajuan kampus baik secara fisik maupun kapasitas intelektual mahasiswa dalam rana praksis maupun praktik. Melihat di lapangan pernyataan Kajur Pai tentang praktek dilapangan itu masih belum terrealisasikan praktikum hanya menjadi buah bibir disekitar telinga yang tak mendengar.

Hal itu sejalan dengan pernyataan Anwar bahwa "semenjak semester pertama sampai semester dua saya tidak pernah ada peraktek" ungkapnya.
Saat ditanya mengenai peraktikum lebih jau mahasiswa jurusan PAI menegaskan "saya tahu adanya praktikum pada brosur penerimaan pada angkatan 2007 disebutkan bahwa SPP untun non saintek Rp. (SPP) 600.000,00. + (Praktikum) 200.000,00. disatukan dalam pembayaran SPP Rp. 800.000,00.". Ungkap Anwar sambil bertanya pada teman di sampingnya. Penyatuan keuangan praktikum dengan SPP juga menjadi persoalan. Dosen pengajar yang memiliki peran dan tanggungjawab terhadap pola berfikir mahasiswa/i-nya tidak pernah menyinggung adanya praktikum, ada semacam persetujuan yang berkesinambungan, padahal jelas-jelas pungutan dana praktikum itu ada. Apakah dosen tidak tau terhadap mekanisme, serta tanggung jawabnya sebagai fasilitator sekaligus pengarah bukan malah memanipulasi apalagi korupsi terhadap anak didiknya.
Lembaga Pendidikan PT (Perguruan Tinggi) sebagai wadah untuk menghantarkan manusia kedalam alur berfikir yang teratur dan sistematis dan bisa menempatkan peran mahasiswa-mahasiswinya kearah yang lebih produktif dan aspiratif, masih sebatas pewacanan, karena penunjang untuk semua itu masih belum sempurna.
Oleh karena itu untuk mengembangkan segala potensi mahasiswa-mahasiswi yang ada tentu harus diimbangi dengan kelengkapan alat dan prasarana "Lab" yang memadai dan lebih baik, hal ini yang samapi saat ini masih belum bisa dilakukan oleh kampus. Karena Lab yang ada masih banyak kekurangan.
Fasilitas "laboratoriom" Uin khususnya Tarbiyah masih banyak kekurang.instrument penunjang yang dibutuhkan misalnya kamera untuk shooting jumlahnya masih kurang. Alat kamera yang minimal dua,kekurangan instrument kelengkapan lab dibenarkan oleh penanggung jawab Lab Tarbiyah "kalau kita bicara kelayakan, minimal kamira dua, satu untuk menyuting bagaimana penyampai mahasiswa saat mengajar, dan yang kedua menyoroti kondisi yang didik. Ungkap Marno penanggung jawab Lab.
Untuk sementara mahasiswa-mahasiswi hanya bisa memanfaatkan sarana dengan seadanya. Keterbatasan sarana bukan sebauh persoalan baru, hanya saja pihak kampus tidak pernah peduli bahkan cenderung membiarkan begitu saja. Demonstrasi yang sempat ricuh 4 Juni 2008 merupakan sebuah respons mahasiswa terhadap kebijakan birokrasi. Akan tetapi kejadian tersebut tidak bisa membuka kesadaran para birokrsi. Justru Para birokrasi menanggapi persoalan "peraktikum" lempar batu sembunyi tangan.
"Kelengkapan fasilitas, Laboraturium dalam tahap negosiasi dengan Islamic Development (IDB)" (Radar Malang 6 juni 20080)
Pernyataan Baharuddin Pembantu Rektor III (PR III) UIN Malang, seperti yang dilanksir Radar Malang, menunjukkan bahwa lembaga "kamupus Uin" tidak menetukan sikap, bisanya hanya beralibi setiap saat. Terbukti dalam usaha pemenuhan fasilitas harus melakukan negosiasi dengan pihak IDB, selaku pemberi hutang "modal" kepada Uin. Kampus sebagai pengembangan keintelektualan menjadi lahan bisnis.
Interfensi pemodal bukan hal baru. Pemodal memiliki peran terselubung dalam setiap kebijakan Uin, kenaikan uang masuk bagi mahasiswa/i baru merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Meski pun H. Imam Suprayogo 10/06/2008 menegaskan kenaikan uang masuk itu disebabkan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Akan tetapi kalau dilihat kondisi dan realitas di lapangan hal itu amat berbeda. Kemengahan infrastuktur (gedung) sekarang bukan tanpa beban. Bagaimana pun kemegahan gedung Uin Malang adalah hasil hutang ke IDB, untuk menutupi semua itu dari mana kalau tidak dari mahasiswa/i "dengan menaikkan anggaran pendidikan".
Kemegahan yang dihasilkan dari tangan ketiga (Pemodal/ IDB) hanya kemegahan yang fatamorgana. Karena pada dasarnya pihak investor "pemodal" sama, yaitu mereka ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperdulikan kondisi kampus. Kemudian yang menjadi korban tidak lain mahasiswa/i itu sendiri.
Ada sebuah ungkapan "Pendidikan hanya untuk mereka yang beruang "kaya", sedang orang miskin akan terus tersingkir" ungkapan kata tersebut kiranya tidak berlebihan. Biaya pendidikan yang mahal, semakin menjadikan jarak antara orang miskin dan kaya. Realitas di lapangan banyak ketimpangan yang diderita oleh orang miskin.
Ketimpangan itu diperparah oleh kebijakan yang semakin mempersempit gerak mereka terutama untuk mengakses pendidikan yang layak pendidikan yang memanusiakan manusia. Jika tujuan pendidiakn tidak lagi mengutamakan kecerdsan bangsa dan cendrung mengutamakan modal maka secara tidak langsung nasib dan kehidupa mahasiswa telah digadaikan. Pergerakan "penolakan" para mahasiswa untuk lepas dari intimidasi asing "pemodal" hanya menjadi cita-cita semu.
kini mahasiswa dihadapkan pada probalematika yang ada pada intern kampus, dimana kampus tidak bisa memfasilitasi kebutuhan "praktikum". kampus berkeinginan melaju jauh, sementara keterpurukan "praktikum" tidak pernah mendapat prioritas.
Mahasiswa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri untuk merubah pikir, sikap, dan persepsi dalam merumuskan masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya jika materi perkuliahan yang didapat mahasiswa itu ditunjang dengan praktik yang memenuhi standart. Karna pada dasarnya praktikum merupakan aplikasi dari apa yang telah diperoleh dari bangku kuliyah.
Oleh sebab itu mahasiswa seharusnya mendapat perelakuan dan pembelajaran yang ideal, karna pendidikan merupakan kebutuhan yang peling urgen dalam kehidupan ini, lantas pendidikan yang edial seperti apa ? kalau Uin pada setiap kesepatan selalu diagung-agungkan oleh rektor pada tiap kesempatan, sementara sarana yang ada di kampus seperti kelengkapan Lab masih jauh dari apa yang diharapkan. Apakah benar Uin patut diagungkan denga dengan segala kekurangan yang tertutupi dengan disengaja.
Sementara keluhan dari berbagai fakultas dan jurusan tidak pernah mendapat perhatian dari kampus. Pada dasarnya mereka memiliki keluhan yang sama mengenai ketidak jelasan praktikum, akan tetapi kampus menutup telinga terhadap persoalan itu.
Mahasiswa dari beberapa fakultas dan jurusan, pada umumnya mereka merasakan kekecewa dengan adanya praktikum yang tidak jelas. Sama’ salah satu mahasiswi fakultas tarbiyah IPS mengaku selama semester satu belum pernah melakukan peraktikum. "sejak semester pertama sampai semester dua saya tidak pernah ada praktikum" ungkap Sama’ . Padahal pemungutan dana peraktikum berjalan semenjak masuk "aktif" sebagai mahasiswa-masiswi.
Apa yang dirasakan Sama’ juga dirasakan oleh mahasiswa yang lain, kapan teriakan mereka didengarkan dan bisa mengetuk hati nurani para pemimpin. sementara kalau kita flash back ketidakjelasan praktikum merupakan warisan dari tahun ke tahun. Menurut faruk (bukan nama sebenarnya) "permasalahan dana peraktikum yang tidak jelas aplikasinya sudah terjadi kurang lebih dua tahun lebih" Maka jangan terlalu banyak berharap aut put yang didapat di Uin bisa diperhitungkan oleh masyarakat dan mampu bersaing dengan yang lain.
Ada perbedaan persepsi mengenai praktikum dikalangan kajur, mengambarkan sebuah keironian. Menurut kajur IPS "tidak semua mata kuliah ada perakteknya", menurutnya yang membutuhkan peraktek seperti Micro theaching, TI (teknoligi informasi) pengelohan data, penbuatan permohonan proposal.
Berbeda dengan pernyataan Kajur PAI yang mengatakan "semua mata kuliah butuh praktek". Perbedaan di kalangan kajur semakin menambah ketidak jelasan "praktikum" hal itu mencerminkan kampus hanya mempesona, aplikasinya tidak ada. Kenyataan di lapangan mahasiswa tidak pernah melakukan praktikum, jangankan melakukan praktikum pada tiap-tiap materi kuliah, untuk materi kuliyah yang sangat membutuhkan praktek sesuai jurusannya masih kete-teran, karna perasara yang ada masih minim.
Anasari salah satu mahasiswi Jurusan IPS semister II mengaku kecewa terhadap mekanisme "praktikum" yang ada di Uin, terutama alokasi dana praktikum "saya tidak tahu kenapa ada pungutan dana praktikum tapi pelaksanaannya tidak ada, padahal disini lembaga yang berlabelkan islam, bagai mana hukumnya ? sari mengungkapkan kekecewaan terhadap kru inovasi sambil bertanya balik.
Mahasiswa berhak mendapatkan apa yang harus mereka dapatkan seperti pelayanan praktikum praktikum. Persoalan yang timbul dikalangan mahasiswa, kebanyakan diantara mereka cenderung pragmatis dan hedonis sehingga tidak memeliki kesadaran untuk menegdepan mana kepentingan yang perlu mengedepankan prioritas mana yang tidak. (MAHSISWA DAN TANTANGAN-NYA Dikutip dari majalah ACTIVA Edisi IV 2002,).
Sementara kampus yang berperan dalam peningkatan keintlektualan terhadap mahasiswanya kini berbalik arah, dimana kampus saat ini hanya mementingkan omset "laba" dari mahasiswanya tanpa berfikir bagai mana memberikan yang terbaik.
Pemungutan dana praktikum sebesar Rp. 200.000,00. untuk non saintek, dan Rp. 300.000,00. untuk saintek. Kalau diakumulasikan bukan jumlah yang kecil. Tapi kenyataanya kampus tidak pernah menaruh perhatian khusus kepada persoalan pratikum itu sendiri. Kampus disibukkan terhadap Visi barunya BLU (Badan Layanan Umum) dimana prioritas kampus bukan akademis tapi menjadi ajang bisnis.
Amat disayangkan memang pungutan dana praktikum dari mahasiswa yang berjalan mulai dari periode angkatan 2005 sampai sekarang masih tidak ada bentuk yang yang jelas. Anehnya kampus tidak ada inisiatif untuk segera melakukan perbaikan, terhadap persoalan praktikum.
Kalau selama ini di fakultas tarbiyah Lab-nya digunakan bersama PAI, IPs, PGMI, hal disayang oleh kajur IPs sendiri akan tetapi hal itu tidak bisa menjamin ada perubahan. Mahaiswa angkatan 2008 dan angkatan yang akan datang, tidak bisa mendapat jaminan bisa akan memperoleh pelayanan yang layak terutama dalam pelaksanaan praktikum.
Keluhan mahasiswa dari beberapa fakultas dan juruasan pada dasarnya sama, ya itu meraka kecewa terhadap pelaksanaan praktikukun tidak maksimal. Ketidak maksimalan itu terjadi dikarnakan tidak lengkapnya sarana praktikum dan terbatasnya Lab.
Sampai kapan mahasiswa-mahasiswi menjadi sapi perah oleh birokrasi Uin. Tentu jawaban itu tidak akan pernah ada jika mahasiswa diam saja dan acuh pada kebijakan yang tidak memihak mereka. Samapai kapan mahasiswa menunggu datangnya keajaiban dari Tuhan!.

Tidak ada komentar: