Sabtu, 31 Januari 2009

CERITA YANG TERTUNDA

Kisah Singkat Kunjungan SBY di UIN & UB Malang

Pagi itu udara berhembus perlahan, para pejalam kaki sibuk merepaikan pakaian dan rambutnya yang terurai disibak angin. Seorang anak usia SD dengan baju lusuh berjalan menyelusuri keramaian kendaraan. Dia tak sekolah seperti anak-anak pada umumnya. Dia harus menghidupi diri dan ibunya, dengan meminta-minta di jalan. Tangan kanannya nampak memegang bekas bungkus permen RELAXA. Wajahnya terlihat penuh dengan kotoran hitam. Rambutnya acak tak teratur. Dia selalau mandahkan tangan pada tiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Orang yang mereasa hiba melihat kondisinya memberikan satu receh (seratus rupiah), ada juga yang acuh, sama sekali tidak menghiraukan keberadaannya. Ya itu adalah potret dari anak negri ini, sekaligus cerminan dari perilaku pemimpin bangsanya. Sementara matahari di ufuk timur masih enggan menyapa mahluknya, biasanya pukul, 07.00 matahri telah jelas menebar sinar keseantero jagat raya, tapi tidak untuk pagi ini, mendung menutupinya, sisa kabut masih terlihat membasahi rumput di jalan.
“kenapa adik mengemis”
“buat makan”
Anak itu menjawab dengan singkat tapi menuh dengan untaian makna. Buat makan, ya demi sesuap nasi dia merelakan harga diri, membuang masa kanak-kanak yang indah. Tak seharusnya seusianya bergelut dengan nasip seperti itu.
“Kenapa adik tidak sekolah”
“tidak punya biaya”
Ya…… Tuhaaaan, kenapa aku tanya itu, sudah jelas di depan mata kepala aku sendiri, dia terpontang panting mngais rezeki hanya untuk makan. Tentu untuk sekolah ia tak punya uang. Lalu bagaimanan nasip dan masa depan anak ini, bukankah pemerintah telah mencanangkan pendidikan gratis, tapi mengapa anak ini harus terlantar di jalanan hanya karna sesuap nasi. Tidak ada yang salah dengan sistem pemerintahan negri ini. Anak ini adalah korban dari keculasanmereka.
Untung mereka hidup di Malang, mereka masih bisa mengais rezeki dari pejalan kaki dsbg. Coba saja anak ini ada di Jogya, mungkin dia akan ditangkap karna telah melanggar UU tentang ketertiban umum. Ya orang miskin semakain tidak memiliki ruang akses yang nyaman, lantaran aparuturnya selalu memihak pada kaum pemudal.
Aku hanya menatap dalam-dalam wajah anak itu. Dia juga menatapku. Dari air mukanya seakan dia berbicara panjang tentang nasip yang ia jalani.
“Ini Adik duduk dulu disi” aku mengajak dia duduk. Kemudian aku membelikan sebungkus nasi yang kebetulan melintas di depan aku. Anak itu duduk di trotoar jalan samping kanan. Di tembok terdapt sebuah tulisan, “Kawasan Bebas PKL” ini adalah deretan sejarah kelam orang yang tak mampu. PKL (Pedagang Kaki Lima) dengan modal yang amat kecil, mereka mencoba mengais hidup di pinggir jalan, akan tetapi mereka juga pada akhirnya menyerah pada kebijakan peneribntah, dengan adanya pelaranagn tersebut.
Orang-orang miskin semakin terbuang, mereka tidak diakui oleh bangsanya sendiri, jangankan pengakuan diberikan kesempatan memanjangkan hidup pun tak ada padanya. Lain dengan orang-orang yang telah mapan mereka dihormati mereka disediakan tempat strategis, semntara orang miskin hanya bisa menatap lata terhadap apa yang mereaka hadapi dan rasakan.
Sementara anak di samping tengah asyik melahap makanan, yang barusan aku beli dari penjajah makanan. Anak ini begitu bersemangatnya makan, aku hanya memperhatikan penuh iba. Aku merasa bangga bisa membelikan makan. Tak terasa air mata tak bisa kubendung. Dengan segera aku hapus, kebetulan saat itu aku membawa Tisu, emang aku tidak terbiasa membawa barang semacam ini. Oh iya aku lupa dak membeli air minum.
“entar dulu adik jangan kemanan-mana tunggu di sini dulu” kemudian aku meninggalkan anak itu untuk sementara, hari itu sungguh membawa kesan yang berarti bagi aku, entah karna apa. Sebentar kemudian aku kembali dengan membawa air.
“kakak baik sekali” kata-katanya begitu tulus menyentuh hati. Tuhan kenapa anak seuisianya harus menanggung nasip seperti ini. Andai saja aku diberi kemampuan lebih aku akan menmpung anak-anak terlantar seprti ini. Tapi aku sendiri juga, masih bergelut dengn segala bebn yang tak juga aku bisa sampai saat ini. Tapi aku merasa bahagia melihat cara dia makan dan segala ketulusannya. Tidak seperti para elit politik yang hanya bisa bisa memoles kata dan janji-janji palsu.
“adik tau siapa presiden indonisia saat ini”
“….ya iyalah… lah kak”
“….Siapa”
“….Bapak Susilo Bambang Yudoyono”
“….Wakilnya”
“….Yjusuf Kalla”
Dengan antusiame dan penuh bangga anak itu menjawap pertanyaan yang aku berikan. Dia sangat mengenal orang nomor satu negri ini. Bahkan saat aku tanya ciri-cirinya pun dia begitu detail memaparkannya. Dengan logat yang khas kekanak-kanakan dia menyebut SBY denagn kepanjangannya tidak dengan panggilan yang kerap diberikan oleh banyak orang dan media dengan menyebut SBY. Begipula saat aku tanya wakilnya. Mungkinkah orang yang dia sebut rasa bangga akan bangga melihatnya, atau malah sebaliknya
Orang kecil (miskin) tidak pernah sedikit pun, untuyktidak mengakui kebesaran para pemimpinannya. Tapi mengapa mereka sering dikesampingkan bahkan terkesan dimarjinalkan. Mereka tidak pernah mendapat akses yang sama, meraka tidak pernah memperoleh keadilan lantaran kemiskinannya.
Pengakuan orang miskin tidak pernah mendapat hati di hati para pemimpinnya. Mungkin meraka atau sekedar berpura-pura lupa, saat mereka belum menjadi pemimpin negri ini, mereka berdalih untuk mengubah nasip mereka lebih baik dari apa yang mereka jalani saat itu. Tapi kenyataannya kini mereka hanya bisa berharap tanpa balas. Kehidupan mendesak danterus menyeret mereka pada keterpurukan. Mereka menjadi korban permaianan pemimpinnya.
Pak SBY itukah potret pemimpin kita.
Mengombal janji dan mengbaikannya
Kenapa harus rakyat kecil yang menjadi tumbal
Tidakkah cukup penderitan yang mereka alami
Mengapa juga mereka harus terusir dari negrinya sendiri
Lantas sebenarnya kesejahteraan apa pada siapa
Kenapa merak tetap berbalur dengan nasip yang tak terperi.
Kenapa mendung pagi ini, belum juga tersingkap, apakah ini merupakan sebuah amsal dari para pemimpin negri ini yang selamanya tidak akan bisa memberikan pencerahan pada mereaka yang miskin. Kehidupan dan penataan kota hanya untuk menyingkirkan orang kecil, alngkah ironi ini dilakukan oleh para pemimpin yang dulu mengumbarjanji kesejahteran pada rakyatnya, tapi apa yang terjadi. Kesejahteraan tidak pernah tercapai penderitn justru seminkin jelas.
Udara yang dulu bersih kini telah ternoda oleh polusi, yang menanggung rakyat keci

Tidak ada komentar: