Selasa, 20 Januari 2009

MENUJU IMPIAN GEMILANG DALAM PERESFEKTIF AL-QURAN

MENUJU IMPIAN GEMILANG
DALAM PERESFEKTIF AL-QURAN
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila kaum yang bersangkutan berusaha mengubah sendiri keadaannya (Qs. Ar-Ra’du : 11).
Saudaraku ....
Tabir telah tersingkap dan rahasia telah terungkap ini sungguh nyata dan begitu dekat, lebih dekat dari bayang-banyag khayalan. kalian direndahkan! malam-malam masa muda telah kalian sia-siakan dalam teriakan kegembiraa. ini benar-benar nayata.
Saudaraku seiman dan sekeyakinan. Saat nyalah kita membuka tabir kebekuan yang selama ini kita anggab tabu, kalau selama ini kita selalu berpangku tangan dan pasrah terhadap nasip dan takdir, maka kenapa kita tidak coba untuk mengubah takdir itu. Bukankan Tuhan sendiri telah memberikan kewenangan-Nya kepada kita, lalu untuk apa kita selalu apatis dan menganggap, apa yang kita jalani adalah semata-mata takdir-Nya, apakah itu dibenarkan menurut agama ? apakah agama (Tuhan ) kita sekejam itu ?.

Saudaraku sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, itu semua adalah kemauan kita, dan kesalahan kita dalam menempatkan posisi kita. Lantas kenapa kita sering cepat memberikan kesimpulan bahwa apa yang terjadi terhadap kita (baik dan buruk) adalah kehendak Tuhan. Semudah itukah kita menyimpulkan persoalan kita, dengan melemparkan segala kewenagan kita dengan bahwa Tuhanlah yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kita.
Kalau kita mencermati dengan teliti dan melakukan telaah secara mendalam ayat di atas saya kita saudara dapat memberikan sebuah simpulan tersendiri. Lantasa masihkah kita mengantungkan segala eksistensi kita kepa-Nya. Tidak salah jika Max dan Freud menganggab bahwa (orang yang meyakini keberadaan Tuhan) manusia itu gila, berada dalam kegilaan. Jika kita tetap mengantungkan apa yang kita lakukan itu semata-mata karna tuhan maka kita telah masuk dalam kata gori yang dikatan oleh Freud tersebut.

Ayat tersebut secara tegas memberikan ruag dan eksistensi manusia bagi manusia sendiri. Siapa yang tidak ingin hidupnya lebih baik, tentu setiap manusia normal menginginkan hal itu. Begtu juga saya, memiliki keinginan untuk hidup lebih baik. Saya hidup dan dibesarakan di kalangan keluarga yang serba berkekurangan. Bukan maksudnya saya untuk mengingkari nikmat Tuhan yang telah diberikan pada saya dan juga keluarga. Setidaknya meski saya hidup dalam keluarga yang sedrhana, saya bersyukur dengan segala yang telah Allah berikan pada saya juga keluarga, karna sampai saat ini saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bisa mengenyam pendidikan sampai ke perguran tinggi, ini merupakan nikmat Tuhan yang tiadatara bagi saya.
Saya mengatakan demikian, karna orang-orang yang memiliki kemampupuan secara finansial mereka tidak melanjutkan pendidikan anaknya sampai kejenjang yang lebih baik/sampai pada tataran perguruan tinggi. Entah kenapa ?, kalau saya cermati diantara teman-teman saya mereka seperti terbelenggu dengan sebuah sistem dan teradisi yang lebih kuat dan mengakar, yang ada di masyarakat itu sendiri. Sebenarnya mereka memilki keinginan seperti halnya saya ”melanjutkan keperguruan tinggi/ sekedar menyelesaikan sampai SMA. Alih-alih keterbelakangan para orang tua menjadikan mereka pesimistis.
Apala lagi ada sebuah selongan ”taat pada orang tua, adalah serminan anak yang baik, percuma melanjutkan (menuntut ilmu sampai jauh tapi tidak, dijalankan) sampai keperguruan tinggi, th nantinya hanya menjadi kuli biasa”. Secara garis besar teman-teman saya yang putus sekolah ”karna taat pada orang tua” takut kena laknat jika mengkal tidak patuh pada orang tua. Kedua karna mereka pesimis terhadap masa depan mereka, karna seperti apapun tingkat pendidikan yang diperoleh tidak bisa menjamin akan masa depannya, untuk lebih baik.
Jika alsan pertama tidaka melanjutkan sekolah ”pendidikan” karna ketaan atan mereka pada orang tua, hal itu dibenarkan oleh sistem dan kebiasaan yang berlaku, apakah hal itu dibenarkan ?. ada dua permasalahan yang sebenarnya perlu diluruskan disini, yaitu antara ketaan dan anggapan baik masayarakat terhadap anak itu sendiri. Taat bukan berarti selalu menuruti keinginan orang tua, karna bagai amanapun orang tua itu manusia biasa,mereka juga bisa salah, nabi saja pernah salah, apalagi orang tua kita tentu mereka juga bisa salah. Ketika mereka salah apakah kita memilki kewajiban untuk mentaati mereka. Apakah dalam agama ada anjuran taat secara buta.
Jika para orang tua beranggapan anaknya selalu enggeh dewo taat dan tidak pernah membantah ” adalah seutu kebanggaan ”baik” apakah itu juga benar dan dibenarkan. Mungkin dari kaca mata orang tua hal itu baik dan menjadi kebaggaan tersendiri bagi mereka. Pertanyaan sekarang apakah orang tua meresa bangga melihat anaknya tergilas oleh pradaban zaman. Ketaan mereka bukan jaminan kebaikan terhadap mereka. Baik untuk saat itu belum tentu untuk sekarang dan yang akan datang.
Disini dibutukan kesadran dari berbagai pihak baik itu dari para orang tua itu sendiri, lebih-lebih anak sebagai generasi penerus. Para orang tua harus lebih terbuka terhadap segala perkembangan. Begitupun seorang anak harus selelu peka melihat kondisi sosial yang semakain hari dipenuhi berbgai tantangan. Teradisi itu penting akan tetapi teradisi yang tidak berlandasa pada pendidikan juga perlu diwas padai.
Jika alasan kedua seorang anak pesimis untik melanjutkan pendidikan kejengjang SMA-PT (Perguruan Tinggi) karna tida ada jaminan kesuksesan di masa depan hal itu juga perlu diluruskan. Sukses bukan diukur dengan dia bisa menjadi pejabat /memperoleh posisi tertuntu. Sukses itu juga bukan diukur dengan dia mendapat pekerjaan dam memiliki gaji besar, sukses itu adalah ketia dia bisa menemptakan posisinya secara baik dan proporsional. Sukses itu ada dalam bingkai hati, sukses itu adalah jika dia merasa bahagia menjalani hidupnya, tenang, tentu hal itu tidak bisa diperoleh dengan materi dan limpahan harta. Hal itu bisa dicapai dengan kesadaran dan jejang pendidikan yang matang.
”Tuttutlah ilmu walau sampai kenigri cina” Al-hadits
Himbawan itu dilontarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dia adalah ummat pilihan bapak dari segala bapak di muka bumi. Tentu banyak alasan mengapa Nabi melontarkan perkataan itu. Saya tidak akan mengulas secara detai; tentang eksistensi dan latar belakang munculnya hadits tersebut, tapi mari kita renungkan bersama dan dijadikan sebagai referensi bagi kita dan masa sepan generasi kita, agar jangan pesimis menatap pasa depan.
Kalau kita kaitkan anggapan orang tua ”tidak perlu menuntut ilmu jauh jauh-sampai keperguruan tinggi” maka himbawan itu termentahkan dengan sendirinya. Lantas bagai mana seorang anak menangkap dan mengafirmasi intruksi Nabi tersebut ?. Kutipan (Qs. Ar-Ra’du : 11) saya kira amat jelas,Tuhan memberikan seluas-luasnya pada manusia itu sendiri untuk menetukan nasipnya.
Detik-Detik Menjelang Uan.
Pada saat itu aku dan juga teman-teman yang lain tengah sibuk mengikuti peralajan tamban BIMSUS (Bimbingan Khusus). BIMSUS adalah salah satu progran sekolah menjelang UAN (Ujian Akhir Negara). BIMSUS sendiri dikonsentraskan pada tiga mata pelajaran khusus sesuai jurusn masing-masing, untu IPS yang wajib yang masuk BIMSUS Pelajaran Bahasa Indonisia, Bahasa Ingris, dan Ekonomi. Pelajaran yang tidak masuk UAN jam pelajarannya dikurangi, yang biasanya tiga jam-menjadi dua jam.
Kegiatan BIMSUS sendiri dilaksanakan pada jam dua siang samapai jam empat 15 menit sore hari. BIMSUS diwajibkan bagi seluruh siswa/i, dan jika tiga hari absen secara berturut-turut maka akan dipanggil oleh BP, dan telat masuk maksimal 15 menit. BP adalah badan pengawas yang bertugas secara khusus dalam bidang konseling dan permasalahan-permasalahan siswa/i. Tak jarang setiap hari pasti ada yang dipanggil kekantor BP.
Aku sendiri bersukur karna tidak pernah telat, karna tempat tinggalku saat itu dekat dengan tempat sekolah, hal itu menjadi keberuntunganku karna semenjak aku kelas XII aku tinggal di rumah guru kompeterku. Sebelum itu aku tinggal di Musollah sekolah dengan teman-teman yang lain, waktu itu yang tinggal di Musollah sekitar nam-delapan orang anak, rata-rata yang tinggal di tempat itu adalah orang yang kurang mampu sepereti hal-nya aku. Waktu itu aku juga teman-teman yang lain ikut membantu di rumah guru komputer pak Didit, pak Didit adalah Guru komputer baru di MAN Sumenep, belum sampai stu tahunan mengajraj di MAN, perta aku juga teman-teman yang lain bolak balik dari rumah pak Didit, malamnya terkadang tidur di konternya, dan subuh-subuh kita segera bergegas solat di Masjid, ebetulan rumah pak didik dekat dengan Masjid sekitar 20 m dari depan rumahnya, selesai solat aku dan juga teman yang lain bersisp-siap pulang ke Musollah dan berangkat sekolah, sehabis pulang dari sekolah sekitar jam 13.15 kita pun balik ke untuk menunggui rental di pak Didik. Kurang lebih 3-5 bulan aku bersama dengan teman ada di rumah pak Didik menunggui Rental yang baru dirintisnya, setelah itu aku tidak algi di sana. Aku diminta oleh Guru komputer senior Azam Prayitno untuk menunggui rental yang sama, tepatnya di jl pahlawan di pangarangan.
Sebenarnya pak didik dan dan azm adalah patner dalam merintis rental dan penjualan komputer, karna ketidak cocokan akhirnya mereka memisahkan diri, dengan mendirikan konnter lain, konter yang dijalankan pakdidik tetap berjalan, dan pak azam merintis ulang dari awal, sesuai dengan pengakuan yang diceritakan oleh pak azam, sebanarnya konter dan rental penjualan koputer yang dijalan oleh pakdidik adalah sebuah usaha bersama, karna pak azam sering dirugikan (saat menjual komputer kekonsumen pak didik tidak jujur) akhirnya dia memutuskan untuk merintis usaha lain.
Maka jangan salah Tuhan jika kehidupan mereka tetap setagnan dan tidak ada perubahan, itu semua karna faktor manusia itu sendiri. Manusia cenderung malas dan tidak memiliki orentasi secara jelas dan pasti, mereka berada dalam kebingungan yang tak tara.
Jika alasan kita tidak melanjutkan pendidikan karna faktor ekonomi, saya kira itu bukan alsan, saya orang miskin dikampung saya. Tapi saya memiliki kemauan kuat. Saya ingat pada perkataan guru saya waktu SMA ”rejeki kalian telah ada yang mengatur, dan jangan sekali-kali kalian menakar, hawatir terhadapnya, jika rezjiki kalian ada di sini satu cangkir ke manapun ya tetap yang satu cangkir itu” himbawan itu disampaikan oleh wakil kepala sekolah pada tahun 2006 saat menjelang ujian nasional UAN.
Tidak biasanya wakil kepala sekolah masuk kela IPS. Akan tetapi pada saat itu beliaunya memang sengaja meluangkankan waktu untk memarani setiap kelas. Tentu saja teman-teman pada saat itu merasa terkejut bercampur kawir takut ada apa-apa. Akan tetapi setelah teman-teman mengetahui maksud dan tujuan dari beliaunya maka anak-anak hanya mangut-mangut saja. Salah satu teman saya, tepat di depan bangku duduk saya membenarkan apa yang disampaikan oleh wakil kepala sekolah. ”memang benar perkataan wakil kepala sekolah tadi” ungkap teman saya pada saya juga teman-teman yang di kelas saat itu. Teman teman yang yang lain tidak mengomentari, mereka hanya terdiam saja. Terlihat di raut wajah mereka ada semacam kegalauwan yang begitu mendalam. Mereka dihadapkan pada sebuah persoalan untu ukuran anak SMA amat berat. Satu sisi mereka akan segera mengahadi UJAIN akhir Uan dan dengan begi mereka akan melepas setatusnya dari pelajar menjadi penganggguran. Ya pengangguran itu adalah hal yang nyata, untuk lulusan SMA dan yang setingkat. Untuk meneruskan kuliah mereka dihadapkan pada persoalan ekonomi. Bagi yang berkecukan hal itu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi bagi mereka dan juga oranf seperti saya meneruskan adalah sebuah mimpi yang sualit untuk dicapai.
Sejenak ruangan kelas menjadi hening dan sepi. Teman-teman terlihat hanya mengotak atik buku, sebagian terlihat memukul-mukulkan pensilnya pada kepala mereka, mereka seperti memotar otak, menjoba hendak keluar dari himpitan persoalan. Akan tetapi tetap saja mereka pada akhirnya berhenti pada titik kejenuhan.
Apa yang disampaikan oleh wakil kepala sekolah, begitu melekat di otak dan fikiranku, aku berfikir untuk bisa melanjutkan studi ke perguruan tinggi bagaimanapun itu caranya. Entah kenapa aku begitu antusias dengan keinginan dan cita-citaku ”melanjutkan kuliah”. Tetapi aku juga sempat mender dengan keadaan dan kondisi keluarga. Aku juga sempat pesimis dengan harapan aku sendiri.
Hari-hari menjelang ujian Nasional fikiranku kacau tak karuan, aku tidak pernah mencemaskan aku lulus atau tidak, yang ada dalam benak aku saat itu, bisakah nantinya aku melanjutkan ke perguruan tinggi, pertanyaan semacam itu terus beruntun dalan fikiran aku.
Pada satu kesempatan aku coba untuk mengutaran keinginanku untuk terus melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sontan asaja orang tua sempat mengeluh, ”kamu lihat sendiri keadaan ayah dan ibu ini, hanya kuli tani saja, aku tidak melarang kamu kuliah, tapi dari mana nanti dapat biaya” Aku jadi serba salah, pada satu sisi aku ingin kuliah, disisi yang lain aku juga tak tega melihat keadaan orang tua, aku hanya menarik nafas dalam.
”bu aku tidak minta apa-apa dari, aku hanya ingin kuliah, aku tidak butuh warisan harta, bila nantinya aku dibagikan harta, dan ahrta itu bernilai 10 juta atau lebih, aku ingin hal itu menjadi biaya untuk kuliah”
” nak kita punya apa, jual tanah itu tidak akan cukup” terlihat mata ibu sembab beraimata.
Aku hanya diam ”Tuhan maafkanlah aku, bukan maksudku untuk menambah beban orang tuaku”, bisik dalam hatiku pilu.
Hari-hari aku melamun, pikiranku kacau, aku merasa serba salah dengan keadaan dan kondisi keluarga yang memang itu adanya.
Keberadaan keluarga yang tergolong amat sedrhanan ”miskin” sempat menjadi bahan gunjingan oleh para tetangga. Bukan itu saja, saya dan orang keluarga ”orangtua” sering mendapat cibiran, mereka lakukan itu karna mereka menganggap apa yang saya lakukan itu terlalu berlebihan. Bagi mereka orang miskin seperti saya tidak selayaknya ngoyo-ngoyo menepuh jenjang pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Akan tetapi berkat ketebahan dan keinginan saya juga kedua orang tua akhirnya, semua cibiran dan gunjingan saya dan juga keluarga, dianggap itu semua tidak ada.
Maklum dari beberapa teman-teman saya yang melanjutkan hingga SMA bisa dihitung denga jari. Di desa saya kesadaran berpendidikan amat rendah. Wajar jika saya dari keluarga yang tidak mampu menjadi bahan sorotan bagi keluarga / tetangga yang lebih mampu. Lebih parah lagi mereka menilai bahwa melanjutkan setudi diukur dengan sebuah pekerjaan. Memang ha itu tidak tabi baikdi lingkungan saya juga dilingkungan lain.
Akan tetapi saya telah

Tidak ada komentar: